Tangan Tuan Effendi terkepal erat. Buku-buku jarinya memutih.
"Semua gegara Assegaf!" desisnya marah.
"Jangan menyalahkan orang lain, Effendi." Dokter Tian lembut mengingatkan.
"Tapi kalau tidak ada Assegaf dalam hidupnya, Adica akan kembali ke pelukanku!"
Calvin menghela nafas. Menatap Papanya masygul. Sampai kapan pun, blogger dan mantan model itu tak akan menyalahkan Abi Assegaf.
"Bila cara berpikirmu seperti itu, bisa-bisa kau menyalahkan Allah atas semua kejadian buruk yang menimpamu. Naudzubillah, aku takkan begitu. Anakku meninggal, itu bukan salah Allah. Allah lebih sayang anakku dari pada aku." ujar Dokter Tian lembut.
Tuan Effendi mendesah tak sabar. "Jadi, Assegaf lebih sayang Adica dari pada aku?"
"Aku tak pernah berkata begitu. Mungkin di mata Allah, Adica jauh lebih baik tinggal bersama Pak Assegaf."
Sepi menyergap hati Tuan Effendi. Kesepian yang mematikan, kesepian yang menggoreskan luka batin. Sepi yang sama, mengobrak-abrik hati Calvin dan Dokter Tian. Ketiganya terpenjara dalam rasa yang sama. Dokter kesepian, pengusaha kesepian, mantan model kesepian.
** Â Â
"Aku tidak tahu. Apakah ngeblog termasuk dalam larangan di aturan main kita hari ini?" Calvin bertanya-tanya seraya membuka MacBooknya.