"Saya mau pulang. Rumah saya dua blok dari sini."
Tanpa kata lagi, Tuan Effendi mengantarkan si pria difabel. Hanya butuh lima menit baginya. Saat ia kembali ke taman, Dokter Tian menepukkan tangan.
"Kukira kamu sentimen pada semua Habib dan Assegaf. Tadinya aku sudah bersiap akan menolong, tapi kamu lebih cepat."
"Tentu saja tidak. Assegaf yang itu tak berbuat kesalahan padaku. Aku juga tidak membenci Arlita dan Asyifa."
"Kalau begitu, mengapa kau tidak memaafkan Zaki Assegaf?"
"Sulit bagiku memaafkan orang yang telah merebut anak kandungku."
Calvin, yang mendengarkan dan memperhatikan, punya tekad baru: mendamaikan Tuan Effendi dan Abi Assegaf. Tergerak hatinya untuk menutup rapat luka sang Papa.
Tes.
Setetes darah terjatuh ke atas keyboard. Tuan Effendi terbelalak. Dokter Tian buru-buru bangkit, meraih kunci mobilnya.
Hidung Calvin berdarah. Tuan Effendi sedikit paksa menutup MacBook. Ruang pemahaman membuka di labirin jiwa. Anak tunggalnya kembali merasakan sakit.
"My Dear Calvin Wan, kita ke rumah sakit sekarang juga. Ayo."