Mohon tunggu...
Latifah Maurinta
Latifah Maurinta Mohon Tunggu... Novelis - Penulis Novel

Nominee best fiction Kompasiana Awards 2019. 9 September 1997. Novel, modeling, music, medical, and psychology. Penyuka green tea dan white lily. Contact: l.maurinta.wigati@gmail.com Twitter: @Maurinta

Selanjutnya

Tutup

Cerpen Pilihan

[Langit Seputih Mutiara] Tiga Pria, Tiga Cinta, Tiga Luka

21 Januari 2019   06:00 Diperbarui: 21 Januari 2019   06:04 401
+
Laporkan Konten
Laporkan Akun
Kompasiana adalah platform blog. Konten ini menjadi tanggung jawab bloger dan tidak mewakili pandangan redaksi Kompas.

Alarm terus berbunyi. Calvin terbangun, meraih iPhonenya, lalu menggeser ikon 'dismiss'. Pukul tiga pagi, sepertiga akhir malam. Waktunya Tahajud. Pria tampan yang pernah menyamar menjadi Gabriel itu tak lupa, sungguh tak pernah lupa.

Lupakah Dokter Tian kalau hari ini ulang tahun almarhum anaknya? Tidak, sama sekali tidak. Ia bahkan telah mengosongkan jadwal pekerjaannya. Semata demi menikmati hari ini. Menikmati hari, tanpa istrinya.

Istrinya tak perlu mengingatkan. Tak perlu repot-repot memasang reminder. Ia sudah ingat sendiri. Tuan Effendi menatap refleksi dirinya di cermin. Tersenyum puas, lalu berjalan meninggalkan walk-in-closet.

Tiga jam berlalu. Tepat pukul enam pagi, sedan metalik Dokter Tian tiba di rumah mewah lereng bukit. Calvin dan Tuan Effendi berdiri tegak di ujung halaman, telah siap pergi. Sesaat ketiga pria tampan beda generasi itu saling ttatap. Menakar penampilan satu sama lain dari atas ke bawah.

"On time," Dokter Tian tersenyum penuh kemenangan, melirik arlojinya.

"Jasmu bagus, Tian. Baru, ya? Dior lagikah? Atau Ermeneguildo?" selidik Tuan Effendi.

"Tidak juga. Aku beli setengah tahun lalu di Singapore. Tapi, harganya lebih murah dari jam tangan Calvin."

Spontan Calvin menyentuh Guessnya. Tuan Effendi membandingkan jas Dokter Tian dengan miliknya sendiri. Tangan kokoh nan hangat Dokter Tian menepuk-nepuk lengannya.

"Sudahlah. Buat apa membandingkan baju? Ayo kita pergi."

"Aturan mainnya..." kata Calvin tegas.

"No gadget, no sosmed, no politik."

"Deal."

Selang tiga menit, sedan itu melaju pergi. Menyisakan kepulan debu yang mengambang di udara.

**    


Pertama bertemu

Ku suka padamu

Begitu juga denganmu

Sayangnya cinta kita

Tak mungkin bersatu

Namun pernah berjanji

Sehidup semati

Engkau punya dia

Sementara aku sendiri

Tak mungkin orang kan tahu

Kita mencinta

Inikah namanya cinta diam-diam

Hanya Tuhan engkau dan aku yang tahu

Biarkanlah ragamu ini jadi miliknya

Namun jiwa dan cintamu pasti untukku

Sampai saat ini

Kau selalu di hati

Karena ku tak mungkin mengganti

Ku tahu hatimu

Selalu untukku

Karena cinta kita ini

Cinta sejati

Engkau punya dia

Sementara aku sendiri

Tak mungkin orang kan tahu

Kita mencinta

Inikah namanya cinta diam-diam

Hanya Tuhan engkau dan aku yang tahu

Biarkanlah ragamu ini jadi miliknya

Namun jiwa dan cintamu pasti untukku

Inikah namanya cinta diam-diam

Hanya Tuhan engkau dan aku yang tahu

Biarkanlah ragamu ini jadi miliknya

Namun jiwa dan cintamu pasti untukku

Inilah namanya cinta diam-diam (3 Komposers-Cinta Diam-Diam).

Calvin bermain piano. Eye contact ia lakukan sepenuh hati pada dua pria berjas mahal di meja paling ujung. Ia terhipnotis nada-nadanya sendiri.

Samar dilihatnya bibir Dokter Tian bergerak pelan melafalkan lirik-lirik lagu. Tuan Effendi bersandar ke kursinya. Pandangannya menerawang, seolah tersungkur dalam deja vu.

Cafe ini kosong, sekosong hati mereka. Tak sia-sia Dokter Tian membayar mahal untuk mengosongkan cafe selama beberapa jam. Hari ini, cukup jadi milik mereka bertiga.

"Great," puji Tuan Effendi tulus. Merangkul Calvin hangat.

Hati Calvin mendingin. Lama, lama rasanya sejak terakhir kali sang Papa bersikap lembut. Tepatnya sejak prahara Adica dan konflik dengan Abi Assegaf.

"I'm so sorry, My Dear Calvin." bisik Tuan Effendi.

"Papa sering kasar padamu sejak semuanya berubah. Tapi kamu harus tahu, Papa terpaksa melakukannya. Papa tertekan, Sayang."

Manik mata Dokter Tian lekat mengawasi adegan manis ayah dan anak itu. Kesejukan mengalir ke hati. Di sisi lain, hantaman kerinduan besar menghujam tajam.

"Papamu seperti aku, Nak." ungkap Dokter Tian tiba-tiba.

Refleks Calvin menengadah, memandang dokter yang telah merawatnya sepenuh hati.

"Papamu terluka, Calvinku. Luka yang sama. Luka karena kehilangan anak."

Suara Dokter Tian tercekat. Tenggorokannya sakit. Ia meminum vanilla lattenya banyak-banyak, lalu tersedak.

"Apakah hanya Papa dan Dokter Tian yang terluka? Aku juga terluka." timpal Calvin.

Ada luka di mata sipit itu. Ada kepedihan di wajah tampan itu. Calvin mengaduk-aduk Lasagna dengan gamang.

"Sejak aku sakit kanker darah, hal yang paling kuinginkan adalah bertemu adik kandungku. Setelah aku tahu siapa dia, hatiku hancur karena dia tidak menginginkanku."

Wajah violinis dan penyiar itu menari-nari di dalam pikiran. Mengantarkan seberkas luka baru.

Tangan Tuan Effendi terkepal erat. Buku-buku jarinya memutih.

"Semua gegara Assegaf!" desisnya marah.

"Jangan menyalahkan orang lain, Effendi." Dokter Tian lembut mengingatkan.

"Tapi kalau tidak ada Assegaf dalam hidupnya, Adica akan kembali ke pelukanku!"

Calvin menghela nafas. Menatap Papanya masygul. Sampai kapan pun, blogger dan mantan model itu tak akan menyalahkan Abi Assegaf.

"Bila cara berpikirmu seperti itu, bisa-bisa kau menyalahkan Allah atas semua kejadian buruk yang menimpamu. Naudzubillah, aku takkan begitu. Anakku meninggal, itu bukan salah Allah. Allah lebih sayang anakku dari pada aku." ujar Dokter Tian lembut.

Tuan Effendi mendesah tak sabar. "Jadi, Assegaf lebih sayang Adica dari pada aku?"

"Aku tak pernah berkata begitu. Mungkin di mata Allah, Adica jauh lebih baik tinggal bersama Pak Assegaf."

Sepi menyergap hati Tuan Effendi. Kesepian yang mematikan, kesepian yang menggoreskan luka batin. Sepi yang sama, mengobrak-abrik hati Calvin dan Dokter Tian. Ketiganya terpenjara dalam rasa yang sama. Dokter kesepian, pengusaha kesepian, mantan model kesepian.

**    

"Aku tidak tahu. Apakah ngeblog termasuk dalam larangan di aturan main kita hari ini?" Calvin bertanya-tanya seraya membuka MacBooknya.

Dokter Tian tertawa. "Kamu sendiri yang membuatnya, Calvinku. Buka dan tulislah."

Jemari tangan Calvin bergerak lincah di atas keyboard. Ia mulai menulis artikel dilatarbelakangi atmosfer taman kota yang sejuk. Dokter Tian dan Tuan Effendi mengenyakkan diri di rumput. Membiarkan tanaman kaya klorofil itu menggelitiki kaki mereka.

Sekali-dua kali mereka melirik Calvin. Mereka tersadar. Calvin begitu berharga, terlalu berharga untuk terpisah. Mereka pernah kehilangan anak. Jangan sampai mereka kehilangan lagi.

Hati kecil Dokter Tian berbisik. Sebentuk tekad untuk terus menjaga Calvin, apa pun yang terjadi. Dia ingin, ingin sekali melihat Calvin sembuh total dan bahagia. Dokter Tian mencintai Calvin seperti ia mencintai anak kandungnya.

Luka akibat perseteruan sepihak dengan Abi Assegaf memotivasi Tuan Effendi. Dia termotivasi untuk mencintai Calvin lebih dari cintanya pada diri sendiri. Calvin satu-satunya permata hati yang termiliki.

Calvin menulis, menulis untuk meredakan perih hatinya. Masih ada sebersit kesyukuran. Syukur karena ia ditemani dua pria luar biasa yang sangat menyayanginya.

Bruk!

Di depan pagar taman, sesosok pria paruh baya terjatuh. Refleks Tuan Effendi bangkit, lalu berlari menolong pria itu.

"Terima kasih," ucap si pria gugup.

Sedetik kemudian, Tuan Effendi terperangah. Pria itu tidak bisa melihat. Di tangan kirinya, tergenggam sebatang tongkat. Kalung plastik di lehernya bertuliskan nama, alamat rumah, dan nomor telepon. Jean Salim Assegaf.

"Anda mau kemana?" Tuan Effendi bertanya, menggandeng tangan si pria.

"Saya mau pulang. Rumah saya dua blok dari sini."

Tanpa kata lagi, Tuan Effendi mengantarkan si pria difabel. Hanya butuh lima menit baginya. Saat ia kembali ke taman, Dokter Tian menepukkan tangan.

"Kukira kamu sentimen pada semua Habib dan Assegaf. Tadinya aku sudah bersiap akan menolong, tapi kamu lebih cepat."

"Tentu saja tidak. Assegaf yang itu tak berbuat kesalahan padaku. Aku juga tidak membenci Arlita dan Asyifa."

"Kalau begitu, mengapa kau tidak memaafkan Zaki Assegaf?"

"Sulit bagiku memaafkan orang yang telah merebut anak kandungku."

Calvin, yang mendengarkan dan memperhatikan, punya tekad baru: mendamaikan Tuan Effendi dan Abi Assegaf. Tergerak hatinya untuk menutup rapat luka sang Papa.

Tes.

Setetes darah terjatuh ke atas keyboard. Tuan Effendi terbelalak. Dokter Tian buru-buru bangkit, meraih kunci mobilnya.

Hidung Calvin berdarah. Tuan Effendi sedikit paksa menutup MacBook. Ruang pemahaman membuka di labirin jiwa. Anak tunggalnya kembali merasakan sakit.

"My Dear Calvin Wan, kita ke rumah sakit sekarang juga. Ayo."

"Tapi Pa..." bantah Calvin lirih.

"Ayo, Calvinku. Aku tak mau terjadi sesuatu yang buruk padamu. Aku dan Papamu tidak mau kehilangan anak lagi."

Titik-titik penyesalan menetesi hati. Saat dirinya dipapah Dokter Tian dan Tuan Effendi, rasa bersalah menghantamnya kuat. Gegara dirinya, acara jalan-jalan mereka berantakan.

Sedan metalik melaju cepat ke rumah sakit. Membawa beban, kesakitan, dan luka. Calvin Wan, Tian Ansori, dan Effendi. Pria-pria tangguh dan tegar yang membawa luka.

**   

Paris van Java, 19 Januari 2019

Cerita cantik, spesial untuk tiga pria yang paling Young Lady sayangi di Kompasiana: Ronald Wan, Opa Effendi, dan Pak Tian.

Baca konten-konten menarik Kompasiana langsung dari smartphone kamu. Follow channel WhatsApp Kompasiana sekarang di sini: https://whatsapp.com/channel/0029VaYjYaL4Spk7WflFYJ2H

HALAMAN :
  1. 1
  2. 2
  3. 3
  4. 4
  5. 5
  6. 6
  7. 7
  8. 8
  9. 9
  10. 10
Mohon tunggu...

Lihat Konten Cerpen Selengkapnya
Lihat Cerpen Selengkapnya
Beri Komentar
Berkomentarlah secara bijaksana dan bertanggung jawab. Komentar sepenuhnya menjadi tanggung jawab komentator seperti diatur dalam UU ITE

Belum ada komentar. Jadilah yang pertama untuk memberikan komentar!
LAPORKAN KONTEN
Alasan
Laporkan Konten
Laporkan Akun