Dokter Tian tertawa. "Kamu sendiri yang membuatnya, Calvinku. Buka dan tulislah."
Jemari tangan Calvin bergerak lincah di atas keyboard. Ia mulai menulis artikel dilatarbelakangi atmosfer taman kota yang sejuk. Dokter Tian dan Tuan Effendi mengenyakkan diri di rumput. Membiarkan tanaman kaya klorofil itu menggelitiki kaki mereka.
Sekali-dua kali mereka melirik Calvin. Mereka tersadar. Calvin begitu berharga, terlalu berharga untuk terpisah. Mereka pernah kehilangan anak. Jangan sampai mereka kehilangan lagi.
Hati kecil Dokter Tian berbisik. Sebentuk tekad untuk terus menjaga Calvin, apa pun yang terjadi. Dia ingin, ingin sekali melihat Calvin sembuh total dan bahagia. Dokter Tian mencintai Calvin seperti ia mencintai anak kandungnya.
Luka akibat perseteruan sepihak dengan Abi Assegaf memotivasi Tuan Effendi. Dia termotivasi untuk mencintai Calvin lebih dari cintanya pada diri sendiri. Calvin satu-satunya permata hati yang termiliki.
Calvin menulis, menulis untuk meredakan perih hatinya. Masih ada sebersit kesyukuran. Syukur karena ia ditemani dua pria luar biasa yang sangat menyayanginya.
Bruk!
Di depan pagar taman, sesosok pria paruh baya terjatuh. Refleks Tuan Effendi bangkit, lalu berlari menolong pria itu.
"Terima kasih," ucap si pria gugup.
Sedetik kemudian, Tuan Effendi terperangah. Pria itu tidak bisa melihat. Di tangan kirinya, tergenggam sebatang tongkat. Kalung plastik di lehernya bertuliskan nama, alamat rumah, dan nomor telepon. Jean Salim Assegaf.
"Anda mau kemana?" Tuan Effendi bertanya, menggandeng tangan si pria.