"I'm so sorry, My Dear Calvin." bisik Tuan Effendi.
"Papa sering kasar padamu sejak semuanya berubah. Tapi kamu harus tahu, Papa terpaksa melakukannya. Papa tertekan, Sayang."
Manik mata Dokter Tian lekat mengawasi adegan manis ayah dan anak itu. Kesejukan mengalir ke hati. Di sisi lain, hantaman kerinduan besar menghujam tajam.
"Papamu seperti aku, Nak." ungkap Dokter Tian tiba-tiba.
Refleks Calvin menengadah, memandang dokter yang telah merawatnya sepenuh hati.
"Papamu terluka, Calvinku. Luka yang sama. Luka karena kehilangan anak."
Suara Dokter Tian tercekat. Tenggorokannya sakit. Ia meminum vanilla lattenya banyak-banyak, lalu tersedak.
"Apakah hanya Papa dan Dokter Tian yang terluka? Aku juga terluka." timpal Calvin.
Ada luka di mata sipit itu. Ada kepedihan di wajah tampan itu. Calvin mengaduk-aduk Lasagna dengan gamang.
"Sejak aku sakit kanker darah, hal yang paling kuinginkan adalah bertemu adik kandungku. Setelah aku tahu siapa dia, hatiku hancur karena dia tidak menginginkanku."
Wajah violinis dan penyiar itu menari-nari di dalam pikiran. Mengantarkan seberkas luka baru.