Mohon tunggu...
Latifah Maurinta
Latifah Maurinta Mohon Tunggu... Novelis - Penulis Novel

Nominee best fiction Kompasiana Awards 2019. 9 September 1997. Novel, modeling, music, medical, and psychology. Penyuka green tea dan white lily. Contact: l.maurinta.wigati@gmail.com Twitter: @Maurinta

Selanjutnya

Tutup

Cerpen

[Langit Seputih Mutiara] Pasangan Penyintas Kanker, Tsunami, dan Rinai Air Mata

26 Desember 2018   06:00 Diperbarui: 26 Desember 2018   07:09 363
+
Laporkan Konten
Laporkan Akun
Kompasiana adalah platform blog. Konten ini menjadi tanggung jawab bloger dan tidak mewakili pandangan redaksi Kompas.

"Deddy, kenapa tidak dihabiskan?"

"Calvinku, kamu tidak suka menunya ya? Mau ganti?"

Arlita dan Dokter Tian menanyakan hal itu di waktu bersamaan. Mereka saling pandang. Deddy meletakkan sendoknya, enggan menghabiskan puding. Rasa mual yang naik ke perutnya membuat Calvin berhenti menyentuh pasta panggang.

Kontras dengan Adica yang telah mengosongkan porsi Lasagna. Begitu pula Silvi yang terlihat menikmati steaknya. Potongan terakhir klapertart Revan telah lenyap. Sasmita menandaskan sisa Coto Makassarnya.

Dokter Tian cukup kreatif memilih resto. Diajaknya mereka semua makan siang di resto yang memiliki banyak pilihan menu. Mulai dari menu Western hingga Indonesian food. Jangan salah, perbedaan selera makan pun kerap kali menjadi masalah. Tak mau Dokter Tian mengambil risiko.

"Ada lagi yang mau tambah sesuatu?" tawar Dokter Tian.

Seisi meja menggeleng. Tangan Dokter Tian terangkat, meminta bill. Sekilas Calvin melirik angka pada lembar kertas itu. Menyentuh enam ratus tujuh puluh ribu. Harga makanan di sini memang mahal. Tapi, sebanding dengan kualitas rasa dan kebersihannya. Harga makan siang seorang dokter kaya yang tak lagi memiliki tanggungan anak.

"Kenapa kau tak menghabiskan makananmu, Deddy? Tidak sopan kau ya..." desak Arlita.

Pria Tionghoa itu tak menjawab. Gemas, Arlita mencubit tangan Deddy keras-keras. Praktis ia berteriak kesakitan, balas menampar tangan Arlita.

"Makanya, jawab pertanyaanku!" sergah Arlita kesal.

"Kuadukan kau pada Assegaf. Dunia sudah mau kiamat. Assegaf lembut begitu, istrinya menyeramkan."

Mendengar kata terakhir, Adica memberi tatapan membunuh ke arah Deddy. Beraninya mengatai Umminya menyeramkan. Mengabaikan penilaian Deddy, Arlita kembali menginterogasi.

"What happen with you, Deddy?"

"Just remember my wife."

Arlita terenyak. Yang lain terdiam seketika. Sejurus kemudian, Deddy berjalan menaiki panggung tempat live music. Calvin dan Adica berlari menyusulnya.

"Om Deddy mau nyanyi? Sini, aku iringi." Calvin bersiap di depan grand piano.

Adica berdiri membawa biolanya. Nada-nada mengalun indah. Deddy bernyanyi dengan suara barithonnya.


Semua telah berakhir

Tak mungkin bisa dipertahankan

Hanya luka jika kita bersama

Karma jalan ini memang berbeda

Semua yang terjadi

Tak akan kembali

Jalan kita memang berbeda

Namun hati ini tak ingin kembali

Ku yakin kita akan bahagia

Tanpa harus selalu bersama

Tak perlu di sesali

Tak usah di tangisi

Ku yakin ini jalan terbaik

Walau kita tak lagi berdua

Tak perlu disesali

Tak usah ditangisi (Seventeen-Jalan Terbaik).

Rasa rindu mengudara. Balon-balon rindu pecah. Adica dan Calvin terenyuh. Arlita teringat Abi Assegaf. Suami tampannya yang kini berjuang melawan kanker paru-paru. Abi Assegaf menderita penyakit yang sama dengan mendiang Karina Lin, istri Deddy. Dokter Tian menghempas nafas berat. Terkenang almarhum putra tunggalnya yang menyerah ditekan Leukemia. Revan dan Silvi berpegangan tangan. Mereka sudah tahu kisah cinta Deddy Riantama-Karina Lin. Sasmita meneguk minumannya banyak-banyak, lalu tersedak.

"Deddy, Arlita, bagaimana rasanya punya pasangan penyintas kanker?" Sasmita menanyai Deddy dan Arlita.

Mereka berdua bertatapan. Sulit, sangat sulit menjawabnya. Butuh berhari-hari untuk mengisahkan bagaimana menjadi pasangan penyintas kanker.

"Prinsipku, aku harus kuat bila ingin menguatkan Assegaf." jawab Arlita.

Deddy menghela nafas panjang. Wajah Karina Lin menari-nari di dalam pikiran.

"Aku tak pernah sanggup membiarkan Karin kemoterapi sendirian." sahutnya muram.

Andai Deddy bisa. Andai Deddy mampu. Ingin sekali ia memutar waktu, lalu memberikan paru-parunya untuk Karin. Agar mantan penari itu dapat hidup lebih lama.

Deddy suami setia. Arlita istri tulus dan tangguh. Allah percaya pada mereka. Sehingga Ia tak ragu menitipkan pasangan penderita kanker untuk mereka rawat dan cintai.

"Deddy, terpikirkah olehmu untuk menikah lagi?" Ganti Dokter Tian yang bertanya.

"Nope. Karin tak akan terganti."

Nah, dengarlah itu. Tetap setia walau ditinggalkan pasangan untuk selamanya.

Arlita menggigit bibir. Jawaban tegas Deddy membuatnya merenung. Tidak, dia takkan menikah lagi bila Abi Assegaf meninggal lebih cepat.

**   

Peti kayu itu polos tak berhias. Ukiran kayunya diglasir halus. Di tutupnya, terukir nama: Karina Lin.

Deddy membawa peti itu bersamanya ke rumah sakit. Ia berniat menginap di sana untuk menjaga Abi Assegaf bersama yang lain. Hampir semua berkumpul di ruang rawat, kecuali...

"Nona Syifa?"

Seorang pegawai berseragam merah dengan logo Pieters Jewelry menepuk bahunya. Syifa buru-buru menelan suapan terakhir pai apel, lalu bangkit berdiri. Hidangan makan malam di tepi pantai nikmat sekali. Sesaat membuatnya terlupa.

"Sebentar lagi aku harus naik ya? Ok ok..." ucap Syifa, lalu berlari kecil ke backstage.

Sepersekian menit Syifa berkutat di depan cermin. Memperbaiki penampilan. Memastikan lipatan gaun soft pinknya tetap rapi. Memolesi bibirnya dengan lipstick. Makan malam tadi membuat warna peach di bibirnya pudar. Tepat pada saat itu, pandangannya tertumbuk ke arah laut.

"Masya Allah...apa itu? Mengapa ada bunga api di kejauhan sana?" Syifa bergidik, menahan rasa takut.

"Jangan takut, Assegaf." Deeddy berkata menenangkan, mengguncang pelan peti yang dipegangnya.

Abi Assegaf bernafas berat. Dia ubah-ubah posisi tidurnya. Arlita dan Adica bergantian membelai-belai punggungnya.

"Ini hanya abu jenazah. Istriku tidak akan berubah menjadi hantu." jelas Deddy.

"Aku tidak takut dengan hal semacam itu, Deddy. Aku hanya teringat prosesi kremasi Karin. Kremasi itu menakutkan."

Deddy memeluk erat peti kayu itu. "Maaf, Assegaf. Aku tak bisa lama-lama berpisah dengan abu jenazah istriku."

Stage manager melambaikan tangan, menepis permintaan maaf gadis itu. Si putri kampus naik ke panggung dengan membawa rasa bersalah. Durasinya dimulai.

Malam ini, Syifa menjadi MC untuk acara gathering perusahaan berlian rekanan bisnis Abi Assegaf. Ia mendapat job bukan semata karena nepotisme. Melainkan karena ia benar-benar berkompeten.

Syifa sukses membawakan acara itu. Terbiasa tampil di atas panggung membuatnya tak canggung lagi. Pemenang putri kampus masa tak bisa menjadi master of ceremony?

Di atas panggung, Syifa tampil anggun, elegan, ekspresif, dan ceria. Dia banyak berinteraksi dengan peserta gathering. MC salah satu job sampingan yang paling menyenangkan baginya. Selain modeling tentunya. Inilah namanya bekerja dengan passion. Gadis cantik itu telah melupakan kilatan bunga api yang dilihatnya.

Bulan purnama membulat sempurna di langit. Air laut mendadak surut. Syifa tak melihatnya. Justru nalar kewaspadaan para keluarga pesisir menyala. Tahu tanda bahaya, mereka buru-buru menyingkir.

Menyingkir sejenak dari mansion mewah untuk menjaga Abi Assegaf di rumah sakit, itulah yang dilakukan Deddy. Ditemaninya Abi Assegaf seraya memangku peti abu jenazah Karin. Assegaf dan Karin, hanya dua nama itu yang tercatat di benaknya kini.

"Kini saatnya lagu kedua...tadi setelah lagu pertama yang keren punya, kita dengarkan lagu selanjutnya." Syifa sejenak menyampaikan kesan penampilan lagu pertama dari band lokal pengisi acara.

Lagu kedua dimainkan. Ritmenya lebih slow. Mengayun-ayun hati audience dengan syair cinta. Syifa menonton dengan kagum. Sesekali ikut menyenandungkan lirik. Semua orang berbahagia, semua orang terkesima. Dunia serasa hanya milik mereka.

Tidak, tidak. Bumi tidak hanya berputar untuk mereka. Alam juga punya kehendaknya sendiri. Lihatlah apa yang terjadi.

Brak!

Panggung terbalik. Gelombang besar setinggi tiga meter menerjang tepi pantai. Syifa berteriak. Teriakannya berbaur dengan jeritan ratusan orang. Mereka terseret air.

Putri kampus kekasih violinis tampan itu terlempar. Ia menjerit kesakitan saat merasakan tubuhnya terkena puing-puing panggung dan bangunan yang hancur. Tepat di depan matanya, ia lihat orang-orang yang berjuang menyelamatkan diri sendiri. Terlalu sibuk mereka menyelamatkan diri hingga mendorong, mendesak, dan menenggelamkan orang lain.

Terjangan gelombang merusak kebahagiaan. Mata si gadis jelita digenangi kristal bening. Ia terisak-isak. Tangannya gemetar meraih sebuah boks hitam yang terapung di dekatnya. Dia pegang erat boks besar itu.

"Ya, Allah...Abi, Ummi, Adica." Syifa berulang kali menggumamkannya.

"Syifa takut...Abi, Syifa takut."

Dalam ketakutan, sosok yang selalu diingatnya adalah Abi Assegaf.

"Assegaf, kau baik-baik saja?" tanya Deddy, hatinya cemas luar biasa.

Tangan kanan Abi Assegaf memegangi dada. Sakit, sakit sekali. Tapi ia yakin, sakit ini bukanlah karena kankernya. Ada hal lain. Firasat buruk yang menyesakkan dada.

"Biar kupanggil dokter."

Sasmita menekan bel. Abi Assegaf sulit bernafas. Volume oksigen pada tabung dinaikkan. Tak banyak membantu. Tetap saja Abi Assegaf merasakan sesak.

Syifa menahan nafas. Hatinya sangat terpukul. Bagaimana tidak, dia melihat mayat dimana-mana. Peserta gathering yang tadi tersenyum bahagia, kini telah mati.

"Innalillahi wa inna ilaihi raji'un..." lirih Syifa. Bibirnya tak henti mendaraskan doa untuk mayat-mayat itu.

Ia masih punya kekuatan. Ia pasti bisa. Memaksakan kedua kakinya bekerja, Syifa berlari sekencang-kencangnya meninggalkan tepi pantai. Sering kali ia bertabrakan dengan orang-orang pesisir. Melihat putri tunggal Abi Assegaf menangis, segera saja mereka memberi bantuan.

Bantuan oksigen tak ada artinya. Kepanikan menebar. Adica bahkan sempat berpikir untuk memindahkan Abinya ke ruang ICU. Di saat keadaan genting, dering iPhone mengalihkan atensi.

"Berikan...padaku...Deddy." pinta Abi Assegaf saat Deddy berinisiatif menjawab panggilan telepon di iPhonenya.

My Princess Asyifa, nama dan foto kontak berpendar di layar. Tanpa ragu, Abi Assegaf menggeser ikon 'answer'.

Semenit. Dua menit. Tiga menit, wajah Abi Assegaf sepucat Kayako Saeki dalam film Ju-On. Arlita, Adica, dan Deddy memegang tangannya.

"Ada apa, Assegaf?"

"Kita harus pulang sekarang." kata Abi Assegaf dengan suara pelan tapi tegas.

Alis Deddy terangkat tinggi. Selembut mungkin ia berkata,

"Kamu belum sembuh, Assegaf."

"Syifa butuh aku. Baru saja terjadi tsuami. Dia sangat terpukul."

Wajah-wajah terkejut menyeruak. Desahan cemas tertahan di kerongkongan. Dengan nekat, Abi Assegaf melepaskan semua peralatan medis. Ia meraih kunci mobilnya.

"Terserah bila kalian tak mau membantuku. Aku bisa pulang sendiri. Aku harus keluar dari sini demi Syifa."

Peti kayu terjatuh. Deddy melompat bangkit, memapah Abi Assegaf keluar ruangan.

Arlita menutup wajah. Matanya berkaca-kaca. Adica memeluknya.

"Ya, Allah...tsunami?" tangis Arlita.

"Terima kasih, ya Allah. Engkau masih sayang pada kami..."

**    

HALAMAN :
  1. 1
  2. 2
  3. 3
  4. 4
  5. 5
  6. 6
  7. 7
  8. 8
  9. 9
Mohon tunggu...

Lihat Konten Cerpen Selengkapnya
Lihat Cerpen Selengkapnya
Beri Komentar
Berkomentarlah secara bijaksana dan bertanggung jawab. Komentar sepenuhnya menjadi tanggung jawab komentator seperti diatur dalam UU ITE

Belum ada komentar. Jadilah yang pertama untuk memberikan komentar!
LAPORKAN KONTEN
Alasan
Laporkan Konten
Laporkan Akun