Mohon tunggu...
Latifah Maurinta
Latifah Maurinta Mohon Tunggu... Novelis - Penulis Novel

Nominee best fiction Kompasiana Awards 2019. 9 September 1997. Novel, modeling, music, medical, and psychology. Penyuka green tea dan white lily. Contact: l.maurinta.wigati@gmail.com Twitter: @Maurinta

Selanjutnya

Tutup

Cerpen Pilihan

[Langit Seputih Mutiara] Teh Menggetarkan Cinta

19 Desember 2018   06:00 Diperbarui: 19 Desember 2018   06:11 427
+
Laporkan Konten
Laporkan Akun
Kompasiana adalah platform blog. Konten ini menjadi tanggung jawab bloger dan tidak mewakili pandangan redaksi Kompas.
Lihat foto
Sumber: Pixabay.com

"Adica...Adica anakku. Abi takut kamu jatuh. Hati-hati, Nak."

Abi Assegaf menjajari langkah Adica. Memegang lembut tangannya. Membimbingnya turun tangga pelan-pelan. Cemas mengawasi langkah limbung anak lelakinya.

Dari pada menghadapi hinaan Jadd Hamid yang tak ada habis-habisnya, Abi Assegaf lebih memilih menemani Adica. Ia pastikan putra angkatnya baik-baik saja. Sejak keluar dari ruang rekaman, kondisi Adica sedikit menurun.

Di depan anaknya, ia harus kuat. Sedikit kekuatan baru mengalir ke tubuh Abi Assegaf. Bagaimana bisa dia menjaga Adica bila tubuhnya sendiri tak ada kekuatan?

Sedikit tanda tanya menyusup ke hati Adica. Mengapa Abi Assegaf ada di sini? Bukankah seharusnya dia menemani Jadd Hamid?

"Kamu lebih penting, Sayang." ujar Abi Assegaf lembut.

"Jadi...Jadd Hamid tidak penting?" Sengaja Adica mengetes Abinya. Memang tidak etis, tapi dia terlanjur penasaran.

Abi Assegaf menghela nafas berat. Sulit untuk memprioritaskan orang yang melukainya sejak kecil. Jadd Hamid meninggalkan trauma sangat dalam di hati anak semata wayangnya.

"Dimana Ummi?" tanya Adica mengalihkan pembicaraan, tak tega melanjutkan tes.

"Ummi di butik."

"Apa Jadd Hamid sendirian?"

"Kakekmu tidak pernah sendirian. Ia punya banyak staf yang melayaninya 24 jam."

Terdengar nada getir dalam suara Abi Assegaf. Selalu saja begitu. Kegetiran yang sama tiap kali membicarakan ayah kandungnya. Publik yang menyangka Abi Assegaf lahir dari keluarga bahagia, keliru besar.

Mereka tiba di kotak siaran. Durasi daypart terakhir dimulai. Abi Assegaf mulai menjalankan komputer. Menyusun filler dan lagu-lagu. Sebuah lagu mellow bertempo pelan mengawali sore suram berhujan itu.


Telah lama sendiri

Dalam langkah sepi

Tak pernah kukira

Bahwa akhirnya

Tiada dirimu di sisiku

Meski waktu datang

Dan berlalu sampai kau tiada bertahan

Semua takkan mampu mengubahku

Hanyalah kau yang ada di relungku

Hanyalah dirimu

Mampu membuatku jatuh dan mencinta

Kau buka hanya sekedar indah

Kau tak akan terganti

Tak pernah kuduga

Bahwa akhirnya

Tergugat janjimu dan janjiku

Meski waktu datang

Dan berlalu sampai kau tiada bertahan

Semua takkan mampu mengubahku

Hanyalah kau yang ada di relungku

Hanyalah dirimu mampu membuatku jatuh dan mencinta

Kau bukan hanya sekedar indah

Kau tak akan terganti

Meski waktu datang

Dan berlalu sampai kau tiada bertahan

Semua takkan mampu mengubahku

Hanyalah kau yang ada di relungku

Hanyalah dirimu mampu membuatku jatuh dan mencinta

Kau bukan hanya sekedar indah

Kau tak akan terganti

Kau tak akan terganti (Marcell-Takkan Terganti).

"Meski waktu datang..." Abi Assegaf bernyanyi lembut mengikuti alunan lagu.

Adica menatapnya lekat. Masih tergurat kesedihan di wajah pucat nan tampan itu. Benarkah Abi Assegaf hanya bernyanyi mengikuti musik, ataukah lagu itu ditujukan untuk seseorang?

"Ummi Tamara takkan terganti..." desah Abi Assegaf tanpa sadar. Kedua matanya terpejam, tangan kirinya menekan dada.

Tamara Shihab, Adica tahu itu nama ibu kandung Abi Assegaf. Wanita cantik berhati lembut yang meninggal terlalu dini. Jadd Hamid menikah lagi setelah meninggalnya Tamara. Menuntaskan keinginan lamanya untuk menikahi wanita simpanan.

Menyadari dirinya sedang diperhatikan, Abi Assegaf memalingkan tatapan. Buru-buru meminta maaf. Sisi rapuh terangkat jelas di depan anak laki-laki.

"Tidak apa-apa, Abi. Kalau mau cerita, aku siap mendengarkan." tawar Adica.

"Terlalu pedih untuk diceritakan, Sayang. Ummi Tamara pergi dalam kesedihan. Dan...bukankah kamu harus jemput Syifa?"

Mendengar itu, refleks Adica menepuk dahinya. Sungguh ia lupa. Tergesa ia berpamitan pada Abinya, berlari ke luar studio, dan memacu Range Rovernya secepat mungkin.

**     

Hujan melebat. Syifa sedikit mundur, enggan gaun cantiknya basah terkena tetesan air langit.

Ia menunggu Adica dengan sabar. Tak sepotong pun keluhan terlontar dari bibirnya. Adica terlambat satu jam, tidak masalah.

Jangan samakan Syifa dengan kebanyakan teman-teman perempuannya. Mereka yang cepat marah dan cepat baper bila sedikit saja kekasihnya terlambat menjemput. Syifa tahu Adica sibuk di radio. Dia tak menuntut apa pun. Tak pula mengharapkan violinis dan penyiar muda itu menjemputnya tepat waktu.

Bayangan Range Rover hitam itu pelan mendekat. Kelegaan mengaliri hati Syifa. Setidaknya, Adica baik-baik saja. Mobil itu berhenti tepat di depan Syifa. Adica turun dari mobil dengan wajah pias. Dirangkulnya Syifa masuk ke mobil. Dia pakaikan safety belt.

"Maaf, aku terlambat..."

"Adica, kau pucat sekali. Aku saja yang bawa mobil."

"Big no. Laki-laki macam apa aku bila membiarkan kamu yang menyetir sementara aku masih kuat?"

Ternyata sifat over protektif Michael Wirawan dimiliki pula oleh Adica. Mobil meluncur meninggalkan pelataran gedung fakultas. Dengan penuh cinta, Syifa membelai-belai lengan Adica. Melepaskan jasnya. Menyelimutkan syal biru-keemasan ke tubuhnya. Melipat jas yang telah dibasahi tetes hujan itu.

"Tadi kakekmu datang ke kantor..." Adica mulai bercerita dengan suara lirih.

"Kakekmu juga..." koreksi Syifa halus. Disambuti gelegan pelan pemuda itu.

"Dia tidak menganggapku cucunya."

Syifa diam mendengarkan. Sepanjang perjalanan, Adica terus bercerita. Teriris hati gadis itu mendengarnya. Cerita Jadd Hamid menyiksa Abi Assegaf secara verbal dan fisik memang telah jadi lagu lama. Namun, serasa kian menyedihkan ketika Arlita dan Adica ikut jadi korban.

"Kakekmu itu kejam..." kecam Adica dalam bisikan marah.

"Dia hina Ummi. Dia siksa Abi berkali-kali."

"Memang begitulah Jadd Hamid. Kau harus mengerti, Adica."

Jemari tangan Adica memukul pelan dashboard. Kilat kemarahan menyala di matanya.

"Lalu kapan Jadd Hamid harus mengerti kita?!"

"Semua ada waktunya, Adica."

Sayangnya, Adica terlalu marah untuk mendengarkan. Ia menaikkan kecepatan mobil. Syifa sedikit ketakutan, tapi ia tahu Adica takkan melanggar batas.

Mobil berbelok tajam ke halaman parkir sebuah mall. Mata Syifa membulat tak percaya. Ia pikir, Adica lupa janjinya.

"Ayo turun," ajak Adica, nada suaranya melembut.

Tanpa kata, Syifa menurut. Keduanya berjalan bergandengan tangan memasuki mall.

Wangi teh membelai hidung mereka setiba di gerai. Mereka berdua memilih meja yang paling dekat dengan jendela. Dari situ, mereka leluasa memandangi rinai hujan.

Dua gelas Matcha Green tea menemani mereka. Nampan besar berisi pastry, cheesecake, martabak keju mozarella, pai buah, tart karamel, pastel, bolu gulung, brownies, panada, dan klapertart nyaris tak tersentuh. Syifa melempar pandang sangsi ke arah nampan besar itu.

"Aku tidak tahu siapa yang akan menghabiskan makanan begini banyak," gumamnya.

"Kita bisa bagikan sepulang dari sini. Jangan membuang makanan."

Perkataan Adica disambuti anggukan Syifa. Sepersekian menit mereka menyesap teh dalam diam. Sering kali tatapan mereka bertemu. Mengalirkan cinta tak terkatakan dari kedalaman hati.

Kue-kue di nampan tak tersentuh. Rasa lapar mereka lesap. Tergantikan detak-detak cinta. Luar biasa, cinta bisa mengendalikan rasa lapar.

"Syifa, aku butuh kamu..." lirih Adica, bersandar ke bahu Syifa.

"What do you need?" bisik Syifa.

"Your love, your affection."

Lengan Syifa melingkar di leher Adica. Keduanya berpelukan erat. Teh menyatukan mereka.

Jarak di antara mereka makin menyempit. Adica nampak begitu tampan. Syifa sangat menawan dan cantik, walau memakai gaun setengah basah.

"Adica..."

"Asyifa..."

Adica dan Asyifa, keduanya mengucap nama satu sama lain bersamaan. Getar-getar cinta merambat pelan dari satu gelas teh ke gelas lainnya. Teh mempercepat ekstasi cinta.

"Aku tak mau Abi kita tersiksa lagi," ungkap Adica, menyandarkan sisi hatinya yang merapuh pada Syifa.

"Kita harus jauhkan Abi dari kakekmu yang jahat itu."

Syifa mengambil nafas. Matanya berkaca-kaca. Sebesar apa luka yang ditimbulkan Jadd Hamid hingga membuat tiga orang yang ia cintai terluka? Adica benar. Abi Assegaf, Arlita, dan Adica harus dijauhkan dari orang-orang jahat berhati hitam.

"Abi Assegaf sudah terlalu banyak menderita...begitu juga kamu dan Ummi Arlita. Takkan kubiarkan siapa pun menyakitimu, Abi, dan Ummi lagi."

Begitu larut mereka dalam getar-getar cinta. Hingga tak menyadari sepasang mata sipit menatap mereka penuh arti. Sepasang mata sipit di balik wajah tampan yang memulas senyum memperhatikan kebersamaan mereka.

"Aku senang adikku telah menemukan belahan jiwanya."

**    

Baca konten-konten menarik Kompasiana langsung dari smartphone kamu. Follow channel WhatsApp Kompasiana sekarang di sini: https://whatsapp.com/channel/0029VaYjYaL4Spk7WflFYJ2H

HALAMAN :
  1. 1
  2. 2
  3. 3
  4. 4
  5. 5
  6. 6
  7. 7
  8. 8
  9. 9
Mohon tunggu...

Lihat Konten Cerpen Selengkapnya
Lihat Cerpen Selengkapnya
Beri Komentar
Berkomentarlah secara bijaksana dan bertanggung jawab. Komentar sepenuhnya menjadi tanggung jawab komentator seperti diatur dalam UU ITE

Belum ada komentar. Jadilah yang pertama untuk memberikan komentar!
LAPORKAN KONTEN
Alasan
Laporkan Konten
Laporkan Akun