Kado beraneka warna dan ukuran menumpuk di kamar hotelnya. Calvin memenuhi kamar dengan tumpukan kado yang tersusun rapi. Isinya coklat, permen, peralatan sekolah, buku-buku, sepatu, peralatan olahraga, mainan, dan pakaian baru. Ia sendiri yang menyiapkannya.
Jangan kira hanya dua tumpukan tinggi itu saja. Tidak, tidak. Masih ada lagi segulung kertas kado berikut barang-barang baru lainnya. Malam ini ia habiskan untuk eksekusi total. Pokoknya, besok pagi semua kado harus sudah siap.
Sepertiga akhir malam itu lebih baik. Bukan hanya baik untuk beribadah, merenung, dan menikmati sepi. Tetapi juga baik untuk mengerjakan banyak hal lain. Saat itu, otak berada dalam keadaan paling fresh. Konsentrasi mencapai titik maksimal. Peluang hadirnya gangguan sangat kecil.
Calvin membentangkan kertas kado. Ia menyusun buku tulis, pensil, penghapus, jangka, penggaris, dan peralatan lainnya dengan rapi. Lalu membungkusnya. Membuat hiasan serupa baju di bagian atas kado. Ia hafal bagaimana cara membuatnya.
Satu demi satu kado dibungkusnya dengan cantik. Selesai membungkus kado, ia mendirikan Tahajud. Ibadah sunnah yang sering kali dilupakan orang-orang yang lebih memilih tidur. Padahal Tahajud jauh lebih nikmat dari tidur.
Dalam sujudnya, Calvin memohon ampun. Meminta maaf bila apa yang dilakukannya malam ini tak disukai Allah. Sungguh, sama sekali tak ada maksud membuat marah penguasa langit. Ia lakukan itu atas nama kaasih.
Calvin mengadukan rasa bersalah dan sepinya dalam hening. Malam begitu kelam. Hujan lebat baru saja reda. Lampu tidur menebarkan cahaya lembut.
Ia beranjak bangkit usai Tahajud. Bergerak mengambil piano putih. Entah bisikan malaikat mana yang mendorongnya membawa grand piano ke hotel hanya untuk liburan singkat bersama keluarga Assegaf. Piano putih itu, hadiah ulang tahun Papanya beberapa tahun lalu. Ketika semuanya belum berubah.
Calvin bermain piano. Membuka jalan kepedihannya untuk keluar meninggalkan jiwa.
Ada kala ku merasa
Hidup ini seperti kaca
Jikalau tidak bersabar
Hancur berderailah akhirnya
Tabahkanlah hatiku
Melalui semua itu
Kuatkanlah jagakanlah hatiku
Oh Tuhan terangkan hati dalam sanubariku
Untuk menempuhi segala
Hidup penuh jabaran ini
Oh Tuhan ku berserah segalanya kepadaMu
Agar jiwaku tenang dengan bimbinganMu selalu (Afgan-Kumohon).
** Â Â Â Â
"Jangan mau menjadi kaca, Nak. Tapi jadilah baja."
Sebuah tepukan halus di punggungnya, suara barithon lembut itu, dan wangi Calvin Klein itu, memburaikan kesendiriannya. Abi Assegaf berkunjung ke kamarnya. Mencurahi Calvin dengan lebih banyak perhatian.
Sejurus kemudian, Abi Assegaf mengangkat kotak besar yang tadi diletakkannya di ranjang. Tutup kotak terbuka. Wangi krim dan coklat menguar dari dalamnya.
"Selamat ulang tahun, Calvin Sayang."
Sepasang mata sipit bening itu memancarkan binar yang lain. Benarkah ia tak salah lihat? Bukan Tuan Effendi yang pertama kali memberi kejutan ulang tahun di tanggal 9 Desember tahun ini, tetapi Abi Assegaf.
Kue tart raksasa berlapis krim dan dihiasi potongan strawberry begitu menggugah selera. Calvin mengambil pisau, lalu memotong kue ulang tahunnya. Ia berikan potongan pertama untuk ayah kedua.
"Ini untuk Abi?" tanya Abi Assegaf terkesan.
"Tentu saja. Untuk orang pertama yang menghapus sepiku di tanggal istimewa."
Abi Assegaf menerima potongan kue itu dan memakannya perlahan. Rasa terima kasih membanjiri hati Calvin. Rasa terima kasih pada Allah karena tak membiarkannya sendiri.
Boleh saja ayah kandungnya banyak berubah. Boleh saja adik kandungnya tak mau mengakui dan menyayanginya. Tapi, masih ada kasih dan cinta dari sosok fatherly yang lain.
"Itu semua kado untuk siapa, Calvin?" tunjuk Abi Assegaf ke arah tumpukan kado.
"Kado Natal untuk anak-anak panti asuhan yang dikelola para biarawati."
Detik itu juga, Calvin waswas. Pasti akan ada penentangan. Pasti Abinya akan memberi pandangan kontra. Mungkin saja berargumen dengan dalil-dalil agama. Namun...
"Luar biasa, Calvin. Abi bantu ya."
Di luar dugaan. Sungguh di luar dugaan. Abi Assegaf justru mendukung Calvin. Tak ada penentangan dan argumen beraroma fanatisme beragama.
"Abi tidak keberatan?"
"Sama sekali tidak. Abi senang bisa membantu orang-orang yang beda agama dengan kita."
Hati Calvin menghangat. Ia perlu belajar banyak dari sosok ayah hebat di sampingnya ini.
Hingga malam berganti pagi, keduanya berkutat menghias dan menyusun kado. Wanita mana pun dipastikan akan meleleh bila melihat kebaikan dua pria tampan ini. Tak peduli mereka berdua menyimpan penyakit serius di dalam tubuh.
Bicara tentang penyakit, Abi Assegaf mulai merasakan ada yang salah. Bukan, bukan pada dirinya. Seminggu terakhir, kondisinya cukup stabil. Ini tentang pemuda orientalis berkacamata di sisinya.
"Abi, apa Adica tidak akan marah kalau tahu Abi lebih memperhatikanku?" tanya Calvin, satu tangannya memberi pita pada kado kecil terbungkus kertas biru-keemasan.
"Mestinya dia mengerti." jawab Abi Assegaf ringan.
"Aku tidak yakin, Abi. Aku..."
Calvin terbatuk di sela kalimatnya. Ia terbatuk lagi beberapa kali, wajahnya memias. Darah terjatuh ke telapak tangannya. Abi Assegaf melayangkan tatapan protektif khas seorang ayah.
"Calvin, are you ok?"
"I'm good. Hanya sedikit flu belakangan ini, Abi." Calvin menyeka hidungnya, mengabaikan khawatir berlebihan sang ayah kedua.
Sedikit flu? Tidak, ini tidak benar.
"Tetap saja tidak bisa dianggap sambil lalu bagi orang seperti kita. Sejak kapan kamu sakit? Abi panggilkan Dokter Tian ya."
Tawaran halus Abi Assegaf disambuti penolakan. Calvin tak ingin merusak suasana liburan rasa acara keluarga. Dokter Tian pun tak ingin ia ganggu. Penyembuh yang dikasihinya itu tengah mencoba memperbaiki hubungan dengan istrinya.
"Sejak kapan kamu kena flu?"
Makin lama, sikap protektif Abi Assegaf pada Adica dan Syifa menular untuk Calvin. Senang? Tentu saja. Siapa yang tak senang saat diperhatikan? Resah? Jelas ada. Agak sedikit meresahkan ketika kasih sayang berlebih ditumpahkan lewat sikap over protektif.
** Â Â Â
Berkali-kali ia terbatuk. Tidak, tidak mungkin ia berikan kado-kado ini pada mereka saat sakit. Terlalu riskan melakukannya. Praktis kado-kado itu diantar kurir.
Balon kekhawatiran Abi Assegaf menggelembung. Mana bisa ia tinggalkan Calvin sendirian? Bila nanti ia harus menghadapi raut marah Adica, ia tak kebratan.
"Aku menyesal tidak bisa mengantar kadonya, Abi." lirih Calvin.
Abi Assegaf mengusap-usap kening Calvin. Persis seperti yang dilakukannya pada Adica di awal-awal ia mengidap Granulomatosis Wegener. Suhu panas mengalir ke tangannya.
"Tidak perlu menyesal...kamu harus banyak istirahat, Nak. Fokus saja dulu dengan kesehatanmu."
Calvin terbatuk. Darah mengalir bersama dahak. Abi Assegaf mendekatkan cawan kecil keperakan.
"Muntahkan. Jangan menelannya..."
Abi Assegaf merawat Calvin dengan penuh kasih sayang. Ia menyeka tubuh Calvin dengan air hangat, membantunya minum obat, meminumkannya air putih, mengompres dahinya, menyelimutinya, dan menenangkannya. Hal yang paling ditakutkan Calvin saat sakit adalah ia kehilangan suara dan fungsi tangannya. Jika sisa-sisa kanker di tubuhnya kembali aktif dan menyebar ke syaraf tangan hingga melumpuhkannya, takkan mungkin lagi ia bermain piano. Bila kanker ini mengganas ke paru-paru, tak tertutup kemungkinan ia akan kehilangan suaranya.
Pisau besar serasa menusuk tajam tenggorokannya. Calvin meraih iPhonenya, lalu menelepon Silvi. Ia memaksakan diri seolah dirinya baik-baik saja. Sudah cukup kecemasan dan kesedihan Silvi tiap kali ia sakit.
Silvi tak di sampingnya kali ini. Ada acara keluarga. Dimana Revan ikut acara keluarga, di situlah Silvi bersamanya.
** Â Â
Ballroom bernuansa ungu-keperakan. Buffet berisi makanan Indonesia, Western, dan Oriental memanjakan keluarga besar. Berlebihankah? Tidak, menurut mereka yang mampu.
Keluarga Manado Borgo rupawan itu berkumpul nyaris lengkap. Hanya satu sepupu Tendean yang tak datang. Silvi dan Revan ada di antara mereka. Berulang kali sejumlah anggota keluarga memuji kecantikan Silvi.
"Tubuhmu ramping ya...ah, cantik sekali."
"Silvi cantik...kemana calon suamimu?"
Beberapa pria-wanita berwajah putih tipikal Western menciumi pipi ranum Silvi. Gadis itu memajukan bibir, tak senang pipinya diciumi pria-pria yang kurang penting. Silvi hanya ingin dicium pria yang menjadi bagian penting dalam hidupnya.
Enggan di dekat-dekat mereka, Silvi berlari ke sudut ballroom. Di sana terdapat wastafel. Disiramkannya air ke pipinya, tak peduli make up nya terhapus. Revan menyusul adiknya, pelan menyentuh tangan gadis itu.
"Sudah, jangan dipikirkan. Bersihkan wajahmu. Sesekali tampil natural saja." bisiknya.
Silvi meraih segulung tissue. Dalam suara pelan, ia memaki-maki pria tinggi, putih, dan berhidung besar yang tadi mencium pipinya. Biar pun pria dewasa di dalam keluarga, tetap saja Silvi tak suka.
"Kalau Calvin yang menciumku, aku takkan semarah ini." Silvi mengakhiri makiannya, geram.
Revan tertawa. Mencubit pelan hidung Silvi. "Itu kan maumu..."
Dering ponsel pintar menyela. Cepat-cepat Silvi membuka tas, mengeluarkan iPhonenya.
"Calvin?"
Mendengar itu, Revan menjauh. Memberi privasi untuk adiknya. Ia masih bisa melihat mata Silvi digenangi air mata.
"Calvin...jangan sakit lagi. Aku sedih tiap kali kamu sakit."
Kemarahan Silvi gegara dicium keluarganya lesap. Terganti kesedihan dan kecemasan. Di hari ulang tahunnya, Calvin justru sakit. Silvi sangat menyayangi malaikat hidupnya, sosok yang sangat berarti baginya. Calvin sakit sedikit saja, gadis Tendean itu cemas luar biasa.
Langkah Silvi bertambah cepat. Ia menjatuhkan diri di meja utama. Terdapat sepuluh kursi berlapis beludru putih di meja itu. Sengaja Silvi mengosongkan satu kursi di sebelah kanan. Hanya dirinya dan Allah yang tahu. Noni Manado bermata biru itu masih berharap Calvin datang. Ironis, Calvin tak bisa datang memenuhi undangan Silvi.
Jemarinya direngkuh seseorang. Silvi rasakan tangan kokoh berjari panjang. Tak salah lagi, pasti tangan Revan. Pria bermata dan berjas biru itu duduk di sisi kiri Silvi.
"Kau boleh menggenggam tanganku dan membayangkan aku adalah Calvin." ujarnya.
Refleks Silvi balas menggenggam tangan Revan. Tak sulit membayangkan Revan sebagai Calvin. Keduanya memiliki banyak kesamaan: sama-sama mantan model, sama-sama terkenal, dan sama-sama berarti dalam hidup Silvi.
"Oh Baby...aku memahami kesedihan hatimu." kata Revan lembut.
"Revan, kapan Calvin sembuh?"
Bola mata Silvi berawan. Kristal-kristal bening terhambur keluar. Revan mempererat genggaman tangannya.
"Belum tahu kapan. Tapi aku yakin Calvin pasti sembuh."
Mata Silvi terpejam. Ia teringat semua tentang Calvin. Calvin yang pertama kali ia cari saat patah hati gegara cinta terlarang dengan rohaniwan agama lain, Calvin yang memeluknya, mendengarkan dirinya berjam-jam, tetap di sampingnya walaupun tersakiti berkali-kali, memperhatikannya berhari-hari meski dibalas dengan pembiaran, membantu sebisanya tiap kali Silvi kesulitan, mengerti semua yang disukainya, dan mengajarinya arti kebaikan.Â
Calvin mengajari Silvi filantropi. Sering kali Silvi melihat Calvin membantu melunasi biaya rumah sakit pasien miskin. Perlu proses panjang untuk Silvi menerima Calvin sebagai calon pendamping hidupnya. Mata hatinya terbuka ketika merasakan sendiri sifat lembut dan penyabar Calvin Wan.
Pertama kali tahu Calvin divonis kanker darah, Silvi sangat trpukul. Bukan karena memiliki calon suami berpenyakit. Melainkan karena ia tak terima orang sebaik Calvin diuji penyakit parah.
Revan meraih tangan Silvi. Menuntun gadis itu ke depan pintu ballroom. Saatnya mereka menjadi penyambut tamu keluarga Tendean.
Banyak sekali tamu yang hadir. Pria-wanita memeluk dan mencium Silvi. Revan juga menerima banyak pelukan. Pelukan dan ciuman pipi sedikit melegakan gadis itu. Ia terus menatap penuh harap ke pintu, berharap Calvin datang.
"Aku masih berharap kau akan datang, malaikatku."
Sakitnya Calvin justru membuat rasa cinta Silvi semakin dalam. Penyakit menguatkan rasa cinta.
** Â Â
Cerita cantik, selamat ulang tahun malaikat tampan bermata sipitku.
** Â Â Â
Baca konten-konten menarik Kompasiana langsung dari smartphone kamu. Follow channel WhatsApp Kompasiana sekarang di sini: https://whatsapp.com/channel/0029VaYjYaL4Spk7WflFYJ2H