"Calvin?"
Mendengar itu, Revan menjauh. Memberi privasi untuk adiknya. Ia masih bisa melihat mata Silvi digenangi air mata.
"Calvin...jangan sakit lagi. Aku sedih tiap kali kamu sakit."
Kemarahan Silvi gegara dicium keluarganya lesap. Terganti kesedihan dan kecemasan. Di hari ulang tahunnya, Calvin justru sakit. Silvi sangat menyayangi malaikat hidupnya, sosok yang sangat berarti baginya. Calvin sakit sedikit saja, gadis Tendean itu cemas luar biasa.
Langkah Silvi bertambah cepat. Ia menjatuhkan diri di meja utama. Terdapat sepuluh kursi berlapis beludru putih di meja itu. Sengaja Silvi mengosongkan satu kursi di sebelah kanan. Hanya dirinya dan Allah yang tahu. Noni Manado bermata biru itu masih berharap Calvin datang. Ironis, Calvin tak bisa datang memenuhi undangan Silvi.
Jemarinya direngkuh seseorang. Silvi rasakan tangan kokoh berjari panjang. Tak salah lagi, pasti tangan Revan. Pria bermata dan berjas biru itu duduk di sisi kiri Silvi.
"Kau boleh menggenggam tanganku dan membayangkan aku adalah Calvin." ujarnya.
Refleks Silvi balas menggenggam tangan Revan. Tak sulit membayangkan Revan sebagai Calvin. Keduanya memiliki banyak kesamaan: sama-sama mantan model, sama-sama terkenal, dan sama-sama berarti dalam hidup Silvi.
"Oh Baby...aku memahami kesedihan hatimu." kata Revan lembut.
"Revan, kapan Calvin sembuh?"
Bola mata Silvi berawan. Kristal-kristal bening terhambur keluar. Revan mempererat genggaman tangannya.