Berkali-kali ia terbatuk. Tidak, tidak mungkin ia berikan kado-kado ini pada mereka saat sakit. Terlalu riskan melakukannya. Praktis kado-kado itu diantar kurir.
Balon kekhawatiran Abi Assegaf menggelembung. Mana bisa ia tinggalkan Calvin sendirian? Bila nanti ia harus menghadapi raut marah Adica, ia tak kebratan.
"Aku menyesal tidak bisa mengantar kadonya, Abi." lirih Calvin.
Abi Assegaf mengusap-usap kening Calvin. Persis seperti yang dilakukannya pada Adica di awal-awal ia mengidap Granulomatosis Wegener. Suhu panas mengalir ke tangannya.
"Tidak perlu menyesal...kamu harus banyak istirahat, Nak. Fokus saja dulu dengan kesehatanmu."
Calvin terbatuk. Darah mengalir bersama dahak. Abi Assegaf mendekatkan cawan kecil keperakan.
"Muntahkan. Jangan menelannya..."
Abi Assegaf merawat Calvin dengan penuh kasih sayang. Ia menyeka tubuh Calvin dengan air hangat, membantunya minum obat, meminumkannya air putih, mengompres dahinya, menyelimutinya, dan menenangkannya. Hal yang paling ditakutkan Calvin saat sakit adalah ia kehilangan suara dan fungsi tangannya. Jika sisa-sisa kanker di tubuhnya kembali aktif dan menyebar ke syaraf tangan hingga melumpuhkannya, takkan mungkin lagi ia bermain piano. Bila kanker ini mengganas ke paru-paru, tak tertutup kemungkinan ia akan kehilangan suaranya.
Pisau besar serasa menusuk tajam tenggorokannya. Calvin meraih iPhonenya, lalu menelepon Silvi. Ia memaksakan diri seolah dirinya baik-baik saja. Sudah cukup kecemasan dan kesedihan Silvi tiap kali ia sakit.
Silvi tak di sampingnya kali ini. Ada acara keluarga. Dimana Revan ikut acara keluarga, di situlah Silvi bersamanya.
** Â Â