** Â Â Â Â
"Jangan mau menjadi kaca, Nak. Tapi jadilah baja."
Sebuah tepukan halus di punggungnya, suara barithon lembut itu, dan wangi Calvin Klein itu, memburaikan kesendiriannya. Abi Assegaf berkunjung ke kamarnya. Mencurahi Calvin dengan lebih banyak perhatian.
Sejurus kemudian, Abi Assegaf mengangkat kotak besar yang tadi diletakkannya di ranjang. Tutup kotak terbuka. Wangi krim dan coklat menguar dari dalamnya.
"Selamat ulang tahun, Calvin Sayang."
Sepasang mata sipit bening itu memancarkan binar yang lain. Benarkah ia tak salah lihat? Bukan Tuan Effendi yang pertama kali memberi kejutan ulang tahun di tanggal 9 Desember tahun ini, tetapi Abi Assegaf.
Kue tart raksasa berlapis krim dan dihiasi potongan strawberry begitu menggugah selera. Calvin mengambil pisau, lalu memotong kue ulang tahunnya. Ia berikan potongan pertama untuk ayah kedua.
"Ini untuk Abi?" tanya Abi Assegaf terkesan.
"Tentu saja. Untuk orang pertama yang menghapus sepiku di tanggal istimewa."
Abi Assegaf menerima potongan kue itu dan memakannya perlahan. Rasa terima kasih membanjiri hati Calvin. Rasa terima kasih pada Allah karena tak membiarkannya sendiri.
Boleh saja ayah kandungnya banyak berubah. Boleh saja adik kandungnya tak mau mengakui dan menyayanginya. Tapi, masih ada kasih dan cinta dari sosok fatherly yang lain.