Deddy mendengarkan, terus mendengarkan. Dia senang Abi Assegaf mau terbuka padanya. Di sisi lain, sedih rasanya mendengar cerita berbalut penyesalan.
"...Aku sudah menyusahkan anak-anakku, Deddy." Abi Assegaf mengakhiri ceritanya, pilu.
Seorang penyiar belum tentu mampu menjadi problem solver. Empati mereka memang terlatih. Kepekaan untuk mendengar pun terasah. Namun, jangan salahkan bila Deddy tak lihai menenangkan hati sahabatnya.
"Ambil saja sisi positifnya." kata Deddy singkat.
Kedua alis Abi Assegaf terangkat. Apa hal positif yang bisa diambil?
"Begitulah cara Adica dan Syifa mencintaimu."
Satu kalimat. Ya, cukup satu kalimat saja. Namun, sudah cukup diresapi.
"Kamu beruntung, Assegaf. Kamu punya anak-anak baik, salih, sayang pada orang tua, pintar, cantik, dan tampan. Tak semua orang tua seberuntung itu. Milenials seusia mereka banyak yang sudah menipis kepeduliannya. Rerata sibuk dengan gadget dan dunianya sendiri. Tapi mereka tidak. Mereka sangat menyayangimu dan siap berbakti untukmu."
Abi Assegaf menangis. Hidungnya berdarah. Deddy yang sedang fokus menyetir tak melihatnya. Ia letakkan smartphonenya di kursi samping kursi pengemudi.
"Jangan terlalu banyak menangis dan bersedih. Nanti dadamu sakit lagi." Deddy mengingatkan.
Sejak awal, dadanya memang sudah sakit. Sakit yang menyesaki dada Abi Assegaf bertambah parah saat hadirnya kesedihan. Mau tak mau Deddy teringat mendiang istrinya. Istri Deddy akhirnya meninggal setelah berjuang melawan kanker paru-paru. Penyakit yang sama, yang kini diderita Abi Assegaf. Pernikahan beda agama itu tak membuahkan keturunan. Alhasil, Deddy kembali hidup sendiri.