Mohon tunggu...
Latifah Maurinta
Latifah Maurinta Mohon Tunggu... Novelis - Penulis Novel

Nominee best fiction Kompasiana Awards 2019. 9 September 1997. Novel, modeling, music, medical, and psychology. Penyuka green tea dan white lily. Contact: l.maurinta.wigati@gmail.com Twitter: @Maurinta

Selanjutnya

Tutup

Cerpen Pilihan

[Langit Seputih Mutiara] The Last Video Call

19 November 2018   06:00 Diperbarui: 19 November 2018   06:13 725
+
Laporkan Konten
Laporkan Akun
Kompasiana adalah platform blog. Konten ini menjadi tanggung jawab bloger dan tidak mewakili pandangan redaksi Kompas.

Malamnya, kondisi Abi Assegaf kembali drop. Enam jam siaran sukses mengisap daya tahan tubuhnya. Sakit luar biasa itu datang tanpa permisi.

Berawal saat makan malam. Keempat anggota keluarga Assegaf duduk mengitari meja makan. Suara radio terdengar di latar belakang. Jangan heran bila di rumah Abi Assegaf tersedia pesawat radio di tiap ruangannya.

Abi Assegaf terlihat tak berselera menyentuh makanannya. Ia hanya mengaduk-aduk makanan di piringnya. Radar kewaspadaan Arlita bekerja.

"Kenapa, Sayang? Kok tidak dimakan? Tak suka menunya ya?"

Adica dan Syifa tak kalah waswas. Piring mereka hampir bersih. Setiap hari adalah kecemasan. Mereka takut, takut sekali terjadi sesuatu yang buruk pada Abi Assegaf.

"Aku sudah selesai," kata Abi Assegaf cepat, lalu mendorong kursinya ke belakang.

Ia bangkit tanpa sedikit pun menyentuh makan malamnya. Arlita ikut bangkit. Tak lagi memedulikan setengah isi gelas tehnya. Lembut disentuhnya lengan Abi Assegaf. Anorexia lagikah? Bukankah pagi tadi efek samping kemo itu telah hilang?

Baru beberapa langkah menuju pintu ruang makan, Abi Assegaf terjatuh. Dadanya terasa ditusuk ribuan jarum. Adica berlari mendekat, mengangkat tubuh Abinya. Syifa dan Arlita khawatir luar biasa.

"Luar biasa...apa yang kaulakukan sepanjang hari ini, my Dear Calvin?" tanya Tuan Effendi tajam.

Calvin menghempaskan tubuhnya di sofa. Meraih remote AC, menekan tombol off. Ia sengaja menghindari pandangan menyelidik Papanya.

"Jawab Papa. Bukankah anak harus menjawab pertanyaan orang tua?"

"Hanya merayakan ulang tahun Abi Assegaf, Pa."

Abi Assegaf benci saat alat itu dipasangkan ke hidungnya. Oksigen ternyata mahal bagi orang sakit. Bernafas pun terasa sakit. Arlita membelai-belai rambutnya.. Sisa rambut yang sangat sedikit pasca kemo kedua.

"Arlita, bagaimana kalau besok aku mati?" tanya Abi Assegaf lirih.

"Aku akan jadi orang pertama yang menangis." jawab Arlita dengan suara bergetar.

Genggaman tangan Abi Assegaf di tangan Arlita kian erat. Haruskah kematian ditangisi? Bisik hati kecilnya. Dari pesawat radio, terdengar suara berat Deddy. Rupanya Deddy akan memutarkan sebuah lagu yang di-request pendengar.


Bagaimana harus kulupakan semua

Saat hati memanggil namamu

Atau harus kurelakan kenyataan

Kita memang tak sejalan

Namun kau adalah pemilik hatiku (Calvin Jeremy-Pemilik Hatiku).

Nampaknya Calvin Jeremy memahami isi hati Arlita. Hati seorang istri yang selalu setia pada suaminya walau sang suami kemungkinan besar akan pergi lebih dulu.

"Assegaf, tolong jangan bicara kematian." pinta Arlita.

"Why not? Semua orang akan mati..."

Mati, mungkin saja kasih sayang Calvin untuk Papanya telah mati. Sebab sesosok ayah lain merebutnya. Tuan Effendi frustrasi. Ia tak suka kedua putranya terlalu dekat dengan Abi Assegaf.

Calvin bergerak resah di tempatnya. Sungguh ia tak mengerti. Salah apa Abi Assegaf pada Papanya? Bukankah selama ini Abi Assegaf sangat baik? Sejak perkenalan mereka dulu di rumah sakit, hingga kini waktu berlalu. Orang tua memang absurd.

**     

Malam melarut. Jarum jam merangkak mendekati angka dua belas. Abi Assegaf tak bisa tidur. Kesakitan menyita waktu tidurnya. Justru istri dan kedua anaknya yang tertidur kelelahan.

Merasa bersalah, Abi Assegaf pelan-pelan beranjak bangun. Ia tertatih ke walk-in closet. Diambilnya tiga helai selimut tebal. Dengan lembut, Abi Assegaf menyelimuti Arlita, Adica, dan Syifa. Dikecupnya kening mereka satu per satu.

Perasaannya lebih tenang saat kembali ke tempat tidur. Alunan lagu terakhir di radio menyentuh rasa. Sebentar lagi, durasi siaran Refrain Radio usai. Refrain Radio mengudara selama 19 jam. Refrain memulai siaran sejak pukul lima pagi hingga pukul dua belas malam.

Tepat pukul dua belas, siaran usai. Kesunyian menyusul. Dalam keheningan malam, Abi Assegaf bersyukur. Syukur karena Refrain Radio tetap baik-baik saja meski tanpa dirinya.

Pelan diraihnya iPhone. Dicarinya kontak seseorang. Nada telepon tersambung. Tak lama, muncul seraut wajah berikut pemandangan bangku pengemudi sebuah mobil yang sedang melaju. Request Skypenya terjawab.

"Iya, Assegaf. Ada apa?"

"Terima kasih Deddy, kamu tampil all out menjalankan tugasmu..." bisik Abi Assegaf.

Pria di balik kemudi tertawa kecil. "Sama-sama. Kamu baik-baik saja, kan?"

Pertanyaan yang sulit dijawab. Abi Assegaf sendiri tak tahu dirinya baik-baik saja atau tidak.

"Assegaf?" panggil Deddy khawatir.

"Kau kenapa? Sakit lagi ya? Perlukah aku ke rumahmu sekarang?"

Sejak vonis kanker jatuh, Deddy dan Sasmita makin perhatian pada Abi Assegaf. Sikap mereka berubah lebih lembut. Tak ada lagi Deddy yang kasar dan Sasmita yang pemabuk. Semuanya berubah lebih baik.

Abi Assegaf bernafas berat. Kekhawatiran Deddy menggelembung.

"Deddy, boleh aku cerita sesuatu?"

"Boleh, Assegaf. Tapi maaf, aku sambil menyetir ya."

Beban kesedihan seorang ayah sempurna tercurah. Abi Assegaf bercerita tentang sakitnya yang kambuh saat makan malam. Bagaimana Adica kesusahan mengangkat tubuhnya ke kamar. Bagaimana Arlita dan Syifa menjaganya sampai tertidur di karpet. Sesal menghinggapi hati. Dia telah membuat anak-anaknya kerepotan.

Deddy mendengarkan, terus mendengarkan. Dia senang Abi Assegaf mau terbuka padanya. Di sisi lain, sedih rasanya mendengar cerita berbalut penyesalan.

"...Aku sudah menyusahkan anak-anakku, Deddy." Abi Assegaf mengakhiri ceritanya, pilu.

Seorang penyiar belum tentu mampu menjadi problem solver. Empati mereka memang terlatih. Kepekaan untuk mendengar pun terasah. Namun, jangan salahkan bila Deddy tak lihai menenangkan hati sahabatnya.

"Ambil saja sisi positifnya." kata Deddy singkat.

Kedua alis Abi Assegaf terangkat. Apa hal positif yang bisa diambil?

"Begitulah cara Adica dan Syifa mencintaimu."

Satu kalimat. Ya, cukup satu kalimat saja. Namun, sudah cukup diresapi.

"Kamu beruntung, Assegaf. Kamu punya anak-anak baik, salih, sayang pada orang tua, pintar, cantik, dan tampan. Tak semua orang tua seberuntung itu. Milenials seusia mereka banyak yang sudah menipis kepeduliannya. Rerata sibuk dengan gadget dan dunianya sendiri. Tapi mereka tidak. Mereka sangat menyayangimu dan siap berbakti untukmu."

Abi Assegaf menangis. Hidungnya berdarah. Deddy yang sedang fokus menyetir tak melihatnya. Ia letakkan smartphonenya di kursi samping kursi pengemudi.

"Jangan terlalu banyak menangis dan bersedih. Nanti dadamu sakit lagi." Deddy mengingatkan.

Sejak awal, dadanya memang sudah sakit. Sakit yang menyesaki dada Abi Assegaf bertambah parah saat hadirnya kesedihan. Mau tak mau Deddy teringat mendiang istrinya. Istri Deddy akhirnya meninggal setelah berjuang melawan kanker paru-paru. Penyakit yang sama, yang kini diderita Abi Assegaf. Pernikahan beda agama itu tak membuahkan keturunan. Alhasil, Deddy kembali hidup sendiri.

"Masih mau cerita lagi? Aku free sampai jam lima pagi." tawar Deddy.

Abi Assegaf menggeleng. "Tidak, aku tak ingin mengganggu waktu tidurmu."

"No problem. Aku kan bisa tidur di pesawat besok. Lumayan, satu jam penerbangan kan bisa tidur. Kalau kamu mau cerita, cerita saja...apa pun. Aku dengarkan. Dari pada kamu telepon si mantan pemabuk Sasmita itu. Nanti bukannya tenang, jangan-jangan kamu malah disuruh minum wine sama dia."

Bukan mengejek, hanya bercanda. Kenyataannya, Sasmita sudah berhenti mabuk. Ia tak pernah menyuruh sesiapa minum wine. Mana mau Abi Assegaf minum minuman haram? Abi Assegaf yang paling alim di antara mereka bertiga.

Sisa malam itu berlangsung dalam untaian cerita. Abi Assegaf banyak bercerita. Deddy lebih banyak mendengarkan, tersenyum, dan menanggapi. Tak selamanya curhat butuh solusi.

Hingga Deddy memarkirkan mobil di garasi rumahnya, ia masih sibuk tersenyum dan mendengarkan cerita-cerita Abi Assegaf. Rasa kantuknya hilang seketika. Entah mengapa, seolah ada tarikan kuat untuk terus bicara dengan sahabat lamanya malam ini. Tarikan magnet di hatinya menguat, menguat, terus menguat.

Di sela-sela perbincangan ringan, Deddy mengingatkan Abi Assegaf untuk tidak menyerah melawan penyakitnya. Ia merasa perlu menyampaikan hal itu sekali lagi. Mungkin saja esok ia tak punya waktu.

"Pokoknya kamu harus patuhi apa pun instruksi dokter, Assegaf. Biar kamu cepat sembuh." kata Deddy tegas.

"Iya, Pak Deddy Riantama. Apa kamu berencana alih profesi? Dari penyiar radio jadi petugas kesehatan?"

Mendengar itu, Deddy tertawa. Rasanya dia masih nyaman bekerja di Refrain Radio. Tak terlintas di benaknya untuk berganti pekerjaan.

Samar terlihat Deddy bergerak menuju pantry. Menyeduh kopi hangat. Mengambil stoples berisi biskuit. Bekal persiapannya untuk mengobrol panjang dengan sahabat sejak muda. Jangan sampai dia tertidur selama Abi Assegaf masih butuh dirinya.

"Deddy, apa kau rindu istrimu?" tanya Abi Assegaf.

Nyaris saja Deddy tersedak kopinya. Tentu saja. Abi Assegaf menanyakan pertanyaan yang sudah jelas.

"Maaf...aku tidak bermaksud..."

"Sudahlah. Aku hanya berharap bisa dipertemukan lagi dengan istriku di surga. Walaupun harapannya kecil, karena iman kami berbeda."

Istri Deddy meninggal dalam keadaan memeluk agama lamanya. Namun, kehidupan akhirat siapa yang tahu?

"Jangan sedih. Mintalah pada Allah. Allah akan mendengar permintaanmu." hibur Abi Assegaf lembut.

"Stop. Enough for me."

Lagi-lagi Deddy mengingatkan Abi Assegaf untuk tetap fokus dengan penyakitnya. Bahkan ia menyalahkan Abi Assegaf yang nekat siaran.

Malam berlalu lambat. Dini hari menuju pagi. Terpaksa Deddy mengakhiri video call di saat dirinya harus berangkat ke airport. Meski berat, meski ia tahu sahabat lamanya itu masih memerlukan dirinya.

"Nanti kalau urusanku di sana sudah selesai, aku langsung ke rumahmu. Aku pasti ada waktu untukmu." janji Deddy.

"Aku tunggu, Deddy. Kau juga punya tanggung jawab membawakan Kuliah Subuh menggantikanku."

Benarkah janji akan ditepati?

**     

Baca konten-konten menarik Kompasiana langsung dari smartphone kamu. Follow channel WhatsApp Kompasiana sekarang di sini: https://whatsapp.com/channel/0029VaYjYaL4Spk7WflFYJ2H

HALAMAN :
  1. 1
  2. 2
  3. 3
  4. 4
  5. 5
  6. 6
  7. 7
  8. 8
Mohon tunggu...

Lihat Konten Cerpen Selengkapnya
Lihat Cerpen Selengkapnya
Beri Komentar
Berkomentarlah secara bijaksana dan bertanggung jawab. Komentar sepenuhnya menjadi tanggung jawab komentator seperti diatur dalam UU ITE

Belum ada komentar. Jadilah yang pertama untuk memberikan komentar!
LAPORKAN KONTEN
Alasan
Laporkan Konten
Laporkan Akun