"Masih mau cerita lagi? Aku free sampai jam lima pagi." tawar Deddy.
Abi Assegaf menggeleng. "Tidak, aku tak ingin mengganggu waktu tidurmu."
"No problem. Aku kan bisa tidur di pesawat besok. Lumayan, satu jam penerbangan kan bisa tidur. Kalau kamu mau cerita, cerita saja...apa pun. Aku dengarkan. Dari pada kamu telepon si mantan pemabuk Sasmita itu. Nanti bukannya tenang, jangan-jangan kamu malah disuruh minum wine sama dia."
Bukan mengejek, hanya bercanda. Kenyataannya, Sasmita sudah berhenti mabuk. Ia tak pernah menyuruh sesiapa minum wine. Mana mau Abi Assegaf minum minuman haram? Abi Assegaf yang paling alim di antara mereka bertiga.
Sisa malam itu berlangsung dalam untaian cerita. Abi Assegaf banyak bercerita. Deddy lebih banyak mendengarkan, tersenyum, dan menanggapi. Tak selamanya curhat butuh solusi.
Hingga Deddy memarkirkan mobil di garasi rumahnya, ia masih sibuk tersenyum dan mendengarkan cerita-cerita Abi Assegaf. Rasa kantuknya hilang seketika. Entah mengapa, seolah ada tarikan kuat untuk terus bicara dengan sahabat lamanya malam ini. Tarikan magnet di hatinya menguat, menguat, terus menguat.
Di sela-sela perbincangan ringan, Deddy mengingatkan Abi Assegaf untuk tidak menyerah melawan penyakitnya. Ia merasa perlu menyampaikan hal itu sekali lagi. Mungkin saja esok ia tak punya waktu.
"Pokoknya kamu harus patuhi apa pun instruksi dokter, Assegaf. Biar kamu cepat sembuh." kata Deddy tegas.
"Iya, Pak Deddy Riantama. Apa kamu berencana alih profesi? Dari penyiar radio jadi petugas kesehatan?"
Mendengar itu, Deddy tertawa. Rasanya dia masih nyaman bekerja di Refrain Radio. Tak terlintas di benaknya untuk berganti pekerjaan.
Samar terlihat Deddy bergerak menuju pantry. Menyeduh kopi hangat. Mengambil stoples berisi biskuit. Bekal persiapannya untuk mengobrol panjang dengan sahabat sejak muda. Jangan sampai dia tertidur selama Abi Assegaf masih butuh dirinya.