Malaikat tampan bermata sipit itu jenuh. Jenuh luar biasa di rumah sakit. Bukannya tak bersyukur dengan pelayanan super mewah. Hanya saja, ia rindu rumah.
"Papa...aku ingin pulang." pinta Calvin.
"Hmmm...ok. Kau sudah dibolehkan keluar dari rumah sakit, anakku." kata Abi Assegaf.
Rona bahagia menepi di wajah tampan Adica. "Benarkah?"
"Benar, Calvin Sayang. Kata Dokter Tian, kamu..."
Ah, peduli apa kata Dokter Tian? Sungguh, Calvin ingin keluar dari tempat ini. Tak adakah yang memahami keinginannya?
Pintu ruangan diketuk halus. Seorang suster mendorong troli berisi nampan sarapan. Tuan Effendi tersenyum ramah. Wajah Calvin beku tanpa ekspresi.
"Selamat pagi," sapa suster itu ramah.
"Pagi, Syifa. Kau tahu? Hari ini aku boleh pulang."
"Alhamdulillah..."
Adica dan Syifa bertatapan. Lalu keduanya bertukar senyum. Cepat Syifa menundukkan wajah. Tak tahan menatapi Adica lama-lama. Tak mampu menahan pesonanya.
Terus terang saja, perawat junior itu terpesona pada Calvin. Selain Adica, Calvinlah pasien paling tampan di rumah sakit ini. Sering ditugaskan di berbagai bangsal membuatnya mampu menilai.
"Biar saya saja, Suster. Saya tak mau anak saya disentuh tangan orang asing." Tuan Effendi mengambil alih. Kambuh lagi penyakit over protektifnya. Sejak Calvin sakit, Tuan Effendi makin protektif.
Dengan lembut dan hati-hati, Tuan Effendi menyeka tubuh Calvin. Perawat junior itu mundur. Sepertinya ia tak boleh berharap terlalu tinggi. Banyak orang cantik dan tampan yang memperhatikan pasien berwajah malaikat ini.
Tanpa banyak berharap akan diizinkan, Adica meminta waktu sebentar pada Abi Assegaf. Ia ingin ke ruangan Calvin sebelum pulang. Di luar dugaan, Abi Assegaf mengizinkan. Asalkan ia memakai kursi roda. Adica menurut. Diambilnya biola, lalu beranjak ke ruangan sebelah.
"Adica, aku ikut. Aku juga ingin ketemu Calvin." Syifa merajuk manja, berlari menyusul ke pintu.
Pintu ruangan sebelah setengah terbuka. Pemandangan pertama yang tertangkap matanya adalah raut wajah hopeless suster junior. Lalu pandangannya beralih fokus ke arah siluet Calvin. Ruang pemahaman terbuka. Instingnya sebagai broadcaster yang out-of-the-box mulai bekerja. Adica bermain biola. Ia bawakan sebuah lagu. Mengenali lagunya, Syifa tertawa lalu ikut bernyanyi.
Ikatkan padaku
Tali benang terpanjang
Agar ku bisa kauterbangkan
Sejauh yang kaumau
Angin kencang bawakan kesenangan
Dapat buatmu terbangkan ku
Sejauh yang kamu mau
Dengan senang kauterbangkan aku
Terlalu tinggi, terlalu tinggi
Di atas awan kunikmati dua sisi
Indah terbang terlalu tinggi
Takut jatuh terlalu jauh
Semakin tinggi semakin jauh ku melihat
Apakah kaugenggam erat
Tarik aku lebih dekat
Kumohon jangan kaulepaskan aku (Juicy Luicy-Terlalu Tinggi).
Paham kode yang disampaikan Adica lewat lagu, wajah perawat junior itu bersemu. Langkahnya makin mundur. Gelisah ia memainkan ujung lipatan seragam putihnya.
"Sorry, saya tidak bermaksud menyindirmu. Hanya mengingatkan." Adica tersenyum menawan.
The power of smile. Suster itu melting juga. Namun, langsung jiper begitu dihadiahi tatapan maut Syifa.
"He's mine." desis Syifa tajam.
Mine? Adica terpaku. Tak salahkah itu? Ah, Asyifa Assegaf yang cantik, jujur, tulus, dan berani. Siapa lelaki normal yang tak suka padanya?
Melihat adegan itu, Calvin tersenyum simpul. Ia salut pada Adica yang begitu atraktif menghibur suster junior dengan biolanya. Ia pun menyukai cara elegan Syifa yang menegaskan statusnya.
Tuan Effendi menggeleng-gelengkan kepalanya. Kids zaman now memang absurd.
"Puas ya, kamu ngerjain suster tadi itu." komentar Calvin.
"Nggak juga. Cuma mau hibur dia, abisnya dia kayaknya pengen banget modus sama kamu." Adica berkelit, menjauhkan biolanya dari jangkauan tangan Calvin.
Syifa menimpali. "Untung ada aku. Kalo nggak, kamu jadi targetnya juga, Adica."
Atmosfer kehangatan melingkupi ruangan itu. Calvin, Adica, dan Syifa mengobrol ringan selama beberapa saat. Sedikit mencari penyemangat di tengah kepenatan hidup.
"Aku senang kamu sudah cukup sehat untuk kembali ke rumah, Adica." ujar Calvin tulus.
"Thanks. Semoga kamu juga segera pergi dari tempat ini."
"Inginnya begitu, tapi..."
Calvin menggantung kalimatnya. Tangan Tuan Effendi terulur. Pelan membelai rambutnya. Menyabarkan tanpa kata.
Harapannya justru dirasakan orang lain. Cara kerja Tuhan memang misterius. Ia berikan masalah, Ia beri pula ketenangan dan harapan. Namun, belum tentu harapan itu terwujud dalam dirinya. Bisa saja terjadi pada orang lain.
BagiNya, masalah-masalah kehidupan di dunia ibarat butir-butir pasir di laut: kecil, kecil sekali. Bahkan nyaris tak berarti. Tak ada apa-apanya. Butir-butir pasir itu dengan mudah dapat disingkirkan. Akan tetapi, cara-cara Tuhan untuk menyingkirkan butir demi butir pasir yang menghalangi langkah manusia sungguh tak terduga.
** Â Â Â
Rumah mewah tiga lantai itu menjulang angkuh dilatarbelakangi birunya laut. Jangan terus menganggap kawasan pinggir pantai identik dengan pemukiman nelayan. Tidak selamanya begitu.
Jika keluarga Calvin lebih memilih membangun rumah mewah di lereng bukit, lain lagi Abi Assegaf. Ia mendambakan hunian mewah di dekat laut. Alhasil, jadilah rumah megah dengan dominan warna biru.
Nyaman, satu kata yang terucap dari siapa pun yang menginjakkan kaki di sini. Sebuah rumah besar dengan jendela-jendela lebar, dinding kaca, dan balkon tinggi. Membuat mereka leluasa memandangi keindahan tepi pantai. Ada tujuh kamar di rumah itu. Tiap kamar dilengkapi mesin pendingin udara, kamar mandi pribadi, bathtub, shower, ranjang king size, bedcover berwarna pastel yang bisa diganti setiap harinya, televisi plasma, kulkas mini, sofa, seperangkat PC lengkap dengan printer, dan built-in-clothes penuh koleksi pakaian mahal. Katakanlah rumah ini layaknya istana kecil di pinggir pantai.
Halaman depannya normatif saja. Rumput sintetis terhampar, hijau dan menyamai rumput asli. Beberapa batang pohon dan pot-pot kecil berisi bunga berjajar rapi. Halaman belakangnya lebih fantastis. Sebuah kolam renang dengan airnya yang jernih menambah kesan mewah. Bagi mereka yang ingin bersantai di tepi kolam sambil mendengarkan debur-debur ombak dari kejauhan, spot ini cocok sekali.
"Selamat datang di rumah sederhana ini, anakku." kata Abi Assegaf rendah hati.
Rumah semewah ini dibilang sederhana? Adica dan Syifa tersenyum geli. Sejurus kemudian, Abi Assegaf menuntun mereka ke sebuah kamar di lantai dua. Kamar mewah yang bersebelahan dengan kamarnya.
"Kamu bisa beristirahat dengan nyaman di sini, anakku. Kamar Abi ada di sebelah. Abi lebih mudah menjagamu."
Pernah menjadi orang kaya sejak kecil membuat Adica tak heran lagi dengan fasilitas mewah. Ia sudah terbiasa. Rumah Abi Assegaf tak kalah mewahnya dengan kediaman Michael Wirawan.
"Kamarku ada di lantai atas." Syifa berkata lembut.
"Tapi maaf ya, mungkin aku tak bisa tiap hari menginap di rumah Abi. Aku kan masih punya Ummi."
Mendengar kata Ummi, Abi Assegaf sedikit tertunduk. Teringat usahanya yang gagal membujuk Arlita untuk rujuk kembali.
"Jangan khawatir, Adica. Aku usahakan tiap hari datang ke sini..." Syifa menenangkan.
Detik itu juga, Adica percaya. Dirinya takkan kesepian lagi mulai sekarang. Ada orang-orang yang tulus padanya. Mereka terpercaya dan teruji.
Derap langkah kaki terdengar di anak tangga. Enam asisten rumah tangga membungkuk hormat di depan Abi Assegaf, Adica, dan Syifa. Sesaat Adica merasa tak enak. Sudah lama dia tak menerima perlakuan seperti ini dari pelayan-pelayan rumah. Terakhir kali ia diperlakukan layaknya tuan muda sebelum kecelakaan maut itu terjadi.
"Nah...mulai saat ini, Adica adalah tuan muda kalian. Perlakukan dia dengan hormat dan baik, seperti kalian memperlakukan saya dan Syifa." perintah Abi Assegaf, nadanya berwibawa.
Keenam pelayan mengangguk patuh. Syifa menatap lembut mata Adica, tersenyum manis. Percayalah lama-lama kau akan terbiasa, begitu arti tatapan matanya.
Ya, sebenarnya Adica grogi. Sekian waktu jatuh dalam kekurangan lalu kembali kaya dan hidup bergelimang kemewahan membuatnya harus beradaptasi. Hidup cepat sekali berubah. Tapi, memang begitulah hidup: ritmis dan dinamis. Tak ada yang abadi kecuali perubahan.
"Sini, Tuan Muda. Saya bawakan kopernya."
Salah seorang pelayan sigap mengambil koper. Membawanya masuk ke kamar. Pelayan lainnya menawari minum. Hangat mengaliri hati pemuda tampan itu. Dikelilingi orang-orang baik, tulus, dan responsif, mana mungkin ia merasa sendirian mengarungi hidup? Semangatnya bangkit. Dia pasti sembuh. Granulomatosis Wegener pasti cepat pergi dari tubuhnya.
** Â Â Â
Pasir berdesir di bawah kakinya. Ombak menghempas bibir pantai tanpa henti. Angin sore menyanyi, membelai tubuh anak-anak nelayan yang sibuk berkejaran. Ada pula sekelompok anak kecil yang berebut bola plastik. Suara-suara bernada ceria meningkahi debur ombak, nyanyian angin, dan desir pasir.
Biola itu kembali dimainkannya. Indahnya pemandangan laut menggerakkan hati untuk bermusik. Adica memainkan instrumen musik, sebuah lagu dari sandiwara radio legendaris berjudul Butir-Butir Pasir Di Laut.
Radio? Bara rindu memantik di hati. Pemuda itu rindu siaran radio, rindu kunjungan ke makam Michael Wirawan, rindu kios koran, dan banyak hal lainnya. Dalam kondisi sakit, riskan ia bisa memuaskan kerinduan.
Apakah di mata Tuhan kerinduan seperti butir-butir pasir di laut? Hanya hal kecil, sangat mudah untuk diselesaikan? Satu hal yang pasti: Tuhan membuat segalanya menjadi mungkin.
"Anakku...cinta, itu kan backsound Butir-Butir Pasir Di Laut."
Sebuah suara barithon disusul tepukan halus di punggungnya mengalihkan atensi. Abi Assegaf berdiri di sisi Adica. Ditatapnya pemuda itu dengan penuh kasih.
"Aku rindu siaran radio..." ungkap Adica jujur.
"Iya, cintaku...anakku, kamu bisa siaran lagi bila sudah sembuh."
"Kapan aku sembuh, Abi?"
Demi mendengar pertanyaan itu, Abi Assegaf memeluk Adica hangat. Kasih sayang seorang ayah sempurna tersalurkan. Dalam hati ia berniat meminta doa pada Kyai yang menjadi narasumber di acara Kuliah Subuh yang dibawakannya besok pagi. Pengusaha dan penyiar radio bersuara bagus itu berjanji akan memberikan yang terbaik untuk Adica sampai dia sembuh.
** Â Â Â
Follow Instagram @kompasianacom juga Tiktok @kompasiana biar nggak ketinggalan event seru komunitas dan tips dapat cuan dari Kompasiana
Baca juga cerita inspiratif langsung dari smartphone kamu dengan bergabung di WhatsApp Channel Kompasiana di SINI