Atmosfer kehangatan melingkupi ruangan itu. Calvin, Adica, dan Syifa mengobrol ringan selama beberapa saat. Sedikit mencari penyemangat di tengah kepenatan hidup.
"Aku senang kamu sudah cukup sehat untuk kembali ke rumah, Adica." ujar Calvin tulus.
"Thanks. Semoga kamu juga segera pergi dari tempat ini."
"Inginnya begitu, tapi..."
Calvin menggantung kalimatnya. Tangan Tuan Effendi terulur. Pelan membelai rambutnya. Menyabarkan tanpa kata.
Harapannya justru dirasakan orang lain. Cara kerja Tuhan memang misterius. Ia berikan masalah, Ia beri pula ketenangan dan harapan. Namun, belum tentu harapan itu terwujud dalam dirinya. Bisa saja terjadi pada orang lain.
BagiNya, masalah-masalah kehidupan di dunia ibarat butir-butir pasir di laut: kecil, kecil sekali. Bahkan nyaris tak berarti. Tak ada apa-apanya. Butir-butir pasir itu dengan mudah dapat disingkirkan. Akan tetapi, cara-cara Tuhan untuk menyingkirkan butir demi butir pasir yang menghalangi langkah manusia sungguh tak terduga.
** Â Â Â
Rumah mewah tiga lantai itu menjulang angkuh dilatarbelakangi birunya laut. Jangan terus menganggap kawasan pinggir pantai identik dengan pemukiman nelayan. Tidak selamanya begitu.
Jika keluarga Calvin lebih memilih membangun rumah mewah di lereng bukit, lain lagi Abi Assegaf. Ia mendambakan hunian mewah di dekat laut. Alhasil, jadilah rumah megah dengan dominan warna biru.
Nyaman, satu kata yang terucap dari siapa pun yang menginjakkan kaki di sini. Sebuah rumah besar dengan jendela-jendela lebar, dinding kaca, dan balkon tinggi. Membuat mereka leluasa memandangi keindahan tepi pantai. Ada tujuh kamar di rumah itu. Tiap kamar dilengkapi mesin pendingin udara, kamar mandi pribadi, bathtub, shower, ranjang king size, bedcover berwarna pastel yang bisa diganti setiap harinya, televisi plasma, kulkas mini, sofa, seperangkat PC lengkap dengan printer, dan built-in-clothes penuh koleksi pakaian mahal. Katakanlah rumah ini layaknya istana kecil di pinggir pantai.