Halaman depannya normatif saja. Rumput sintetis terhampar, hijau dan menyamai rumput asli. Beberapa batang pohon dan pot-pot kecil berisi bunga berjajar rapi. Halaman belakangnya lebih fantastis. Sebuah kolam renang dengan airnya yang jernih menambah kesan mewah. Bagi mereka yang ingin bersantai di tepi kolam sambil mendengarkan debur-debur ombak dari kejauhan, spot ini cocok sekali.
"Selamat datang di rumah sederhana ini, anakku." kata Abi Assegaf rendah hati.
Rumah semewah ini dibilang sederhana? Adica dan Syifa tersenyum geli. Sejurus kemudian, Abi Assegaf menuntun mereka ke sebuah kamar di lantai dua. Kamar mewah yang bersebelahan dengan kamarnya.
"Kamu bisa beristirahat dengan nyaman di sini, anakku. Kamar Abi ada di sebelah. Abi lebih mudah menjagamu."
Pernah menjadi orang kaya sejak kecil membuat Adica tak heran lagi dengan fasilitas mewah. Ia sudah terbiasa. Rumah Abi Assegaf tak kalah mewahnya dengan kediaman Michael Wirawan.
"Kamarku ada di lantai atas." Syifa berkata lembut.
"Tapi maaf ya, mungkin aku tak bisa tiap hari menginap di rumah Abi. Aku kan masih punya Ummi."
Mendengar kata Ummi, Abi Assegaf sedikit tertunduk. Teringat usahanya yang gagal membujuk Arlita untuk rujuk kembali.
"Jangan khawatir, Adica. Aku usahakan tiap hari datang ke sini..." Syifa menenangkan.
Detik itu juga, Adica percaya. Dirinya takkan kesepian lagi mulai sekarang. Ada orang-orang yang tulus padanya. Mereka terpercaya dan teruji.
Derap langkah kaki terdengar di anak tangga. Enam asisten rumah tangga membungkuk hormat di depan Abi Assegaf, Adica, dan Syifa. Sesaat Adica merasa tak enak. Sudah lama dia tak menerima perlakuan seperti ini dari pelayan-pelayan rumah. Terakhir kali ia diperlakukan layaknya tuan muda sebelum kecelakaan maut itu terjadi.