"Nah...mulai saat ini, Adica adalah tuan muda kalian. Perlakukan dia dengan hormat dan baik, seperti kalian memperlakukan saya dan Syifa." perintah Abi Assegaf, nadanya berwibawa.
Keenam pelayan mengangguk patuh. Syifa menatap lembut mata Adica, tersenyum manis. Percayalah lama-lama kau akan terbiasa, begitu arti tatapan matanya.
Ya, sebenarnya Adica grogi. Sekian waktu jatuh dalam kekurangan lalu kembali kaya dan hidup bergelimang kemewahan membuatnya harus beradaptasi. Hidup cepat sekali berubah. Tapi, memang begitulah hidup: ritmis dan dinamis. Tak ada yang abadi kecuali perubahan.
"Sini, Tuan Muda. Saya bawakan kopernya."
Salah seorang pelayan sigap mengambil koper. Membawanya masuk ke kamar. Pelayan lainnya menawari minum. Hangat mengaliri hati pemuda tampan itu. Dikelilingi orang-orang baik, tulus, dan responsif, mana mungkin ia merasa sendirian mengarungi hidup? Semangatnya bangkit. Dia pasti sembuh. Granulomatosis Wegener pasti cepat pergi dari tubuhnya.
** Â Â Â
Pasir berdesir di bawah kakinya. Ombak menghempas bibir pantai tanpa henti. Angin sore menyanyi, membelai tubuh anak-anak nelayan yang sibuk berkejaran. Ada pula sekelompok anak kecil yang berebut bola plastik. Suara-suara bernada ceria meningkahi debur ombak, nyanyian angin, dan desir pasir.
Biola itu kembali dimainkannya. Indahnya pemandangan laut menggerakkan hati untuk bermusik. Adica memainkan instrumen musik, sebuah lagu dari sandiwara radio legendaris berjudul Butir-Butir Pasir Di Laut.
Radio? Bara rindu memantik di hati. Pemuda itu rindu siaran radio, rindu kunjungan ke makam Michael Wirawan, rindu kios koran, dan banyak hal lainnya. Dalam kondisi sakit, riskan ia bisa memuaskan kerinduan.
Apakah di mata Tuhan kerinduan seperti butir-butir pasir di laut? Hanya hal kecil, sangat mudah untuk diselesaikan? Satu hal yang pasti: Tuhan membuat segalanya menjadi mungkin.