Calvin paham betul kelemahan putrinya. Tangan Angel tak sekuat tangan orang normal. Empat jari di tangan kanan dan kirinya sangat rapuh. Lemah di jari-jari Angel membuatnya tak mampu mengerjakan sesuatu yang terlalu berat.
Apa yang ditakutkan Calvin terjadi. Alat penyiram bunga di tangan Angel jatuh. Marahkah ia? Tentu saja tidak. Memarahi anak istimewa bukan hal bijak. Calvin berusaha konsisten memperlakukan Angel: dulu, kini, dan seterusnya tetap lembut.
"Maaf, Papa-Vin..." sesal Angel, suaranya serak menahan tangis.
Bukannya memarahi, Calvin membesarkan hati. Diyakinkannya Angel kalau ia tidak salah. Jika ada tes khusus parenting kategori mendidik anak berkebutuhan khusus, mungkin Calvin sudah lulus dengan nilai sempurna. Sabarnya tak bertepi, tiap waktu konsisten mengasihi, dan tak lelah memotivasi. Kasih sayang, perhatian, dan motivasi. Itulah yang diperlukan anak-anak difabel.
"Papa-Vin sabar banget. Nggak kayak Mama-Sil. Mama-Sil galak."
Tanpa sadar, Angel membuat komparasi. Calvin tertegun. Kedua tangannya terulur. Mendarat lembut di pipi mulus Angel.
"Angel nggak boleh gitu...Mama-Sil sebenarnya baik juga kok. Sayang banget sama Angel."
"Tapi, kenapa Mama-Sil galak?"
"Karena Mama-Sil sayang Angel."
Dialog ayah dan anak itu terdengar oleh si pemilik mata biru yang lain. Dari balik kaca partisi, dia tergugu. Air mata berkilau di wajah cantiknya. Silvi malu, malu sekali pada dirinya sendiri.
** Â Â Â