Mohon tunggu...
Latifah Maurinta
Latifah Maurinta Mohon Tunggu... Novelis - Penulis Novel

Nominee best fiction Kompasiana Awards 2019. 9 September 1997. Novel, modeling, music, medical, and psychology. Penyuka green tea dan white lily. Contact: l.maurinta.wigati@gmail.com Twitter: @Maurinta

Selanjutnya

Tutup

Cerpen Pilihan

[Selingkuh Hati Malaikat Tampan] Semurni Kasih

24 September 2018   06:00 Diperbarui: 24 September 2018   06:07 792
+
Laporkan Konten
Laporkan Akun
Kompasiana adalah platform blog. Konten ini menjadi tanggung jawab bloger dan tidak mewakili pandangan redaksi Kompas.

"Papa-Vin..."

Sepasang tangan kecil menyentuh punggungnya lembut. Memberi kekuatan, membangunkannya dari rasa sakit.

Anak cantik itu menguatkannya. Tangan kecilnya yang lemah, yang ukurannya tidak normal, justru menghadirkan kekuatan tersendiri untuk Calvin. Karena anak ini, Calvin mampu bertahan hingga sembilan tahun berikutnya.

Relativitas waktu melaju. Sembilan tahun berlalu. Hidup terus berjalan, itulah keniscayaan yang tak pernah membeku.

Perlahan, Calvin membuka mata. Tersadar dimana posisinya. Bagaimana bisa ia jatuh tak sadarkan diri begitu lama saat sedang bersujud pada Allah? Sebuah kelalaian karena kesakitan.

"Angel Sayang..." lirih Calvin, membelai lembut kepala malaikat mungilnya.

"Papa-Vin kok tiduran di karpet? Dingin, kan...shalat Subuhnya lama banget, malah ketiduran." tanya Angel dengan wajah innocentnya.

"Nggak apa-apa, Sayang. Papa-Vin kecapekan aja. Kan kemarin-kemarin banyak kerjaan."

Mengabaikan tusukan rasa sakit di perut dan punggungnya, Calvin berdiri. Beranjak ke tempat tidur. Satu tangannya menuntun Angel dengan lembut.

"Angel takut, Papa-Vin..." desis Angel, mengerjapkan mata birunya.

"Nggak perlu takut, Sayang. Papa-Vin baik-baik aja."

Ungkapan menenteramkan Calvin tak juga mengaburkan sendu di wajah Angel. Gadis kecil berkulit putih ini tetap saja menyimpan khawatir. Calvin membaca kecemasan di wajah putrinya.

"Kalau Angel khawatir terus, sama saja Angel mendoakan hal buruk buat Papa-Vin."

Mata Angel membola. "Bukan gitu, Papa-Vin..."

"Khawatir berlebihan sama seperti mendoakan, Sayang. Kenapa nggak berpikir positif?"

Lama Angel terdiam. Merenungi perkataan ayah tirinya. Membenarkan dalam hati.

"Papa-Vin...jangan pergi." gumam Angel, lirih dan memohon.

"Tidak, Sayang. Kecuali kalau sudah dipanggil Allah."

"Kalo gitu, Angel mau minta sama Allah biar Papa-Vin terus di sini...nemenin Angel."

Sebongkah kristal besar menjatuhi hati Calvin. Doa-doa Angel memberi kekuatan baginya. Allah Maha Mendengar. Harapan anak istimewa ini terdengar jelas sampai ke Arasy. Doa dan harapan Angellah yang menguatkan Calvin untuk terus bertahan hidup.

"Angel jangan khawatir lagi ya, Sayang. Papa-Vin selalu di sini..."

Dengan lembut, direngkuhnya tubuh Angel. Ia letakkan tangan kecil berjari empat milik Angel di pangkuan. Nyaman, itulah yang Angel rasakan. Dekapan Calvin begitu hangat.

Lama mereka berpelukan. Sampai-sampai mereka tak menyadari sepasang mata biru lain yang terus mengawasi. Mata biru itu mengerjap, lalu meneteskan air bening. Pemiliknya berdiri gemetar di balik vitrage, tersentuh dengan kedekatan Angel dan Calvin.

"Ya, Allah, bisa saja dia membenci anak itu...tapi kenyataannya berbeda. Dia justru sangat menyayangi Angel. Meski Angel bukan keturunannya, meski Angel lahir dari selingkuh fisik."

Pemilik mata biru itu terus bicara pada Allah. Mencurahkan kesedihan dan keharuan. Hatinya bergolak tak menentu. Sungguh, Calvin ratusan kali lipat lebih baik.

Kembali di dalam kamar utama super mewah itu, Calvin pelan melepas pelukan. Mencium kening Angel dan berkata. "Ke taman yuk. Papa-Vin kan udah janji mau ajarin Angel berkebun."

Wajah Angel berubah cerah. Ia teringat janjinya dengan Papa-Vin semalam. Mereka pun bergegas ke taman.

**    

Tempat ini terlalu luas untuk disebut taman. Lebih mirip setengah ukuran lapangan bola. Luas sekali halaman depan rumah Calvin. Pot-pot kristal berisi bunga mawar, lily putih, aster, anyelir, anggrek bulan, melati, dan bunga matahari berjajar rapi. Di sisi kiri halaman, dekat pagar hitam yang menjulang angkuh, terdapat rimbun pepohonan. Pohon-pohon itu sudah cukup meneduhi halaman. Sementara itu, sisi kanan halaman ditempati air mancur besar bertingkat tiga. Gemericik airnya yang memercik-mercik ceria merilekskan pikiran sesiapa yang melintasi halaman depan ini.

Itu belum seberapa. Halaman belakang lebih luas lagi. Begitu luasnya sampai-sampai cocok buat lokasi outbond mini. Di halaman belakang, terdapat lima buah ayunan, satu perosotan, dan satu flying fox. Ada sudut khusus untuk barbeque. Sembilan tahun terakhir, Calvin dan keluarga kecilnya sering sekali melakukan itu. Sebuah kolam renang besar tapi tak terlalu dalam menjadi pelengkap. Airnya jernih dan biru. Nikmat mana lagi yang kamu dustakan dari rumah sebesar itu?

Kembali ke halaman depan, terlihat Calvin sedang mengajari Angel menyirami bunga-bunga. Dibantunya Angel membawa alat penyiram bunga.

"Pelan-pelan, Sayang. Kalau tidak kuat, jangan dipaksakan." kata Calvin lembut.

"Angel kuat kok." balas  gadis kecil itu yakin.

Calvin paham betul kelemahan putrinya. Tangan Angel tak sekuat tangan orang normal. Empat jari di tangan kanan dan kirinya sangat rapuh. Lemah di jari-jari Angel membuatnya tak mampu mengerjakan sesuatu yang terlalu berat.

Apa yang ditakutkan Calvin terjadi. Alat penyiram bunga di tangan Angel jatuh. Marahkah ia? Tentu saja tidak. Memarahi anak istimewa bukan hal bijak. Calvin berusaha konsisten memperlakukan Angel: dulu, kini, dan seterusnya tetap lembut.

"Maaf, Papa-Vin..." sesal Angel, suaranya serak menahan tangis.

Bukannya memarahi, Calvin membesarkan hati. Diyakinkannya Angel kalau ia tidak salah. Jika ada tes khusus parenting kategori mendidik anak berkebutuhan khusus, mungkin Calvin sudah lulus dengan nilai sempurna. Sabarnya tak bertepi, tiap waktu konsisten mengasihi, dan tak lelah memotivasi. Kasih sayang, perhatian, dan motivasi. Itulah yang diperlukan anak-anak difabel.

"Papa-Vin sabar banget. Nggak kayak Mama-Sil. Mama-Sil galak."

Tanpa sadar, Angel membuat komparasi. Calvin tertegun. Kedua tangannya terulur. Mendarat lembut di pipi mulus Angel.

"Angel nggak boleh gitu...Mama-Sil sebenarnya baik juga kok. Sayang banget sama Angel."

"Tapi, kenapa Mama-Sil galak?"

"Karena Mama-Sil sayang Angel."

Dialog ayah dan anak itu terdengar oleh si pemilik mata biru yang lain. Dari balik kaca partisi, dia tergugu. Air mata berkilau di wajah cantiknya. Silvi malu, malu sekali pada dirinya sendiri.

**     


Semurni kasih

Padamu kucurahkan cinta

Dan belaian kasih sayang penuh kelembutan

Bagai sangat rindu menanti asmara

Dan sejuta kilau cahaya

Dia pelita

Dan terasa indahnya suasana dalam hidupku (Afgan-Semurni Kasih).

**    

Gerai supermarket dipadati pengunjung di Hari Minggu. Orang-orang sibuk berbelanja, tak sedikit datang bersama anggota keluarganya. Ada pula yang datang sendirian.

Alunan musik dan sejuknya pendingin udara makin memanjakan pengunjung. Sukses membuat mereka betah berlama-lama. Sukses menguras isi dompet mereka untuk terus berbelanja, lagi dan lagi. Strategi bisnis Calvin, para staf, dan profesional playlist market berhasil.

Di tengah keramaian itu, Calvin membawa Angel bersamanya. Sedikit kesusahan menjaga putri spesialnya dari jangkauan orang-orang yang tak semuanya baik. Sejak menjadi ayah, Calvin menjadi lebih protektif. Angel menikmati semua usaha proteksi Calvin. Bukankah bahagia itu harus diperhatikan?

Satu tangan Calvin mendorong troli. Satu tangan lainnya menggandeng Angel menyusuri lorong demi lorong. Menjaganya jangan sampai jatuh, terlepas dari pengawasan, atau terluka.

Kehadiran Calvin dan Angel tak luput dari radar pantauan para karyawan. Kasir, SPG, sampai konsultan produk di booth-booth produk bermerk terkenal, semua menatapi Calvin dengan kagum. Layak disebut Papa idaman. Tak heran, hati karyawan wanita meleleh.

"Angel mau yang mana? Yang ini...atau yang ini?" Calvin memberi pilihan, menunjuk jajaran coklat dan permen di atas rak.

Detik berikutnya, bukan hanya satu jenis produk coklat yang terbeli. Calvin membelikan banyak sekali coklat dan permen untuk Angel. Barang-barang belanjaan di troli makin menggunung.

"Makasih Papa-Vin..." Angel berterima kasih, mencium pipi Calvin.

Entah, Calvin terlalu sayang pada Angel. Tanpa Angel meminta, ia belikan semua itu.

Melewati lorong demi lorong, display demi display, mereka tiba di bagian khusus peralatan sekolah. Calvin membelikan banyak peralatan sekolah baru untuk Angel. Mulai dari tas sampai kotak pensil, semuanya baru dan mahal. Saat itulah Angel melontarkan pertanyaan.

"Papa-Vin, kenapa Angel harus sekolah di sekolah inklusi?"

Sesaat Calvin terdiam. Berhati-hati memikirkan jawabannya agar tidak keliru.

"Biar Angel bisa punya banyak teman." jawab Calvin akhirnya.

Kedua alis Angel terangkat. "Tapi, di sekolah lama Angel juga banyak teman."

"Iya, Sayang. Papa-Vin hanya ingin Angel punya lebih banyak teman lagi dan bisa berprestasi."

Sebisa mungkin, Calvin memberi pemahaman pada Angel. Memang tak mudah. Namun, Angel harus tahu. Sepertinya, Angel kurang puas dengan jawaban Papanya.

"Memangnya, di sekolah lama, Angel nggak bisa berprestasi?"

"Bukan begitu...sekolah baru ini jauh lebih bagus. Peluang buat berprestasi lebih besar. Coba lihat Koko Stevent. Koko Stevent pakai kursi roda, tapi bisa sekolah di sekolah biasa, kan? Selalu juara kelas, kan? Menang lomba tingkat nasional, kan?"

Angel mengangguk paham. Perlahan tapi pasti, dia mulai memahami.

"Papa-Vin, Angel takut..." ungkapnya, jujur dan apa adanya. Pelan merapatkan tubuh pada Calvin.

"Takut apa?" Calvin bertanya, menatap lekat mata Angel.

"Takut teman-teman di sana jahat semua. Koko Stevent pernah cerita, di sana nggak semua temannya baik. Ada yang sering jahatin Koko Stevent. Angel takut, Papa-Vin."

Pria berkacamata itu mendengarkan dengan sabar. Ketakutan Angel terbaca olehnya. Pelan diusap-usapnya lengan Angel.

"Tidak perlu takut, Sayang. Berdoa sama Allah, minta supaya teman-teman di sekolah baru sayang sama Angel. Walaupun nanti ada yang jahat, Angel kan masih punya banyak orang yang sayang dan peduli. Angel punya Papa-Vin, Mama-Sil, Koko Stevent, Cici Carol, Cici Thalita, Dokter Tian, Suster Adinda, dan Uncle Revan..."

"Hmmm, iya juga ya. Masih banyak yang sayang sama Angel."

Terlarut dalam kebersamaan membuat mereka tak sadar. Empat pasang kaki mengikuti mereka sejak tadi. Sepasang kaki jenjang Calisa, diikuti sepasang kaki bersepatu Berluti Rapieces Reprises milik Revan. Di belakang mereka, sepasang kaki mungil Silvi bergerak dalam jarak aman. Paling belakang, sepasang kaki ramping terbungkus Louis Vuiton Men Shoes milik Adica, melangkah tergesa. Keempat orang yang bergerak mirip mata-mata itu menampilkan ekspresi serupa: sedih.

"Papa-Vin, ada Tante cantik sama Om-Om ganteng liatin kita." Tetiba Angel menunjuk ke satu titik, rupanya dia tersadar.

Tak sempat menanggapi, Calvin kembali merasakan sakit. Rasa sakit menjalari punggungnya. Membuatnya terbungkuk menahan kesakitan. Ribuan jarum jahat serasa menusuk tajam.

"Ya, Allah, jangan sekarang..." rintih Calvin lirih, sangat lirih.

Darah segar mengalir dari hidung Calvin. Melihat itu, Angel berteriak. Menutupi wajah dengan shock. Anak cantik itu tak kuat melihat darah.

"Calvin!"

Silvi, Calisa, Revan, dan Adica berseru bersamaan. Spontan keempatnya berlari mendekati Calvin dan Angel. Tak peduli lagi dengan penyamaran mereka.

Sakit ini, datang di saat kurang tepat. Rasa sakit seperti malaikat maut yang datang sembunyi-sembunyi. Kesakitan bisa saja datang di waktu yang salah. Namun, pertolongan pun hadir tepat pada waktunya.

Pandangan mata Calvin memburam. Tidak kuat lagi menahan rasa sakit, Calvin jatuh pingsan. Tepat ketika Silvi dan Calisa berusaha memeluknya. Calvin terjatuh, terjatuh di pelukan dua wanita.

**    

Baca konten-konten menarik Kompasiana langsung dari smartphone kamu. Follow channel WhatsApp Kompasiana sekarang di sini: https://whatsapp.com/channel/0029VaYjYaL4Spk7WflFYJ2H

HALAMAN :
  1. 1
  2. 2
  3. 3
  4. 4
  5. 5
  6. 6
  7. 7
  8. 8
  9. 9
Mohon tunggu...

Lihat Konten Cerpen Selengkapnya
Lihat Cerpen Selengkapnya
Beri Komentar
Berkomentarlah secara bijaksana dan bertanggung jawab. Komentar sepenuhnya menjadi tanggung jawab komentator seperti diatur dalam UU ITE

Belum ada komentar. Jadilah yang pertama untuk memberikan komentar!
LAPORKAN KONTEN
Alasan
Laporkan Konten
Laporkan Akun