Kedua alis Angel terangkat. "Tapi, di sekolah lama Angel juga banyak teman."
"Iya, Sayang. Papa-Vin hanya ingin Angel punya lebih banyak teman lagi dan bisa berprestasi."
Sebisa mungkin, Calvin memberi pemahaman pada Angel. Memang tak mudah. Namun, Angel harus tahu. Sepertinya, Angel kurang puas dengan jawaban Papanya.
"Memangnya, di sekolah lama, Angel nggak bisa berprestasi?"
"Bukan begitu...sekolah baru ini jauh lebih bagus. Peluang buat berprestasi lebih besar. Coba lihat Koko Stevent. Koko Stevent pakai kursi roda, tapi bisa sekolah di sekolah biasa, kan? Selalu juara kelas, kan? Menang lomba tingkat nasional, kan?"
Angel mengangguk paham. Perlahan tapi pasti, dia mulai memahami.
"Papa-Vin, Angel takut..." ungkapnya, jujur dan apa adanya. Pelan merapatkan tubuh pada Calvin.
"Takut apa?" Calvin bertanya, menatap lekat mata Angel.
"Takut teman-teman di sana jahat semua. Koko Stevent pernah cerita, di sana nggak semua temannya baik. Ada yang sering jahatin Koko Stevent. Angel takut, Papa-Vin."
Pria berkacamata itu mendengarkan dengan sabar. Ketakutan Angel terbaca olehnya. Pelan diusap-usapnya lengan Angel.
"Tidak perlu takut, Sayang. Berdoa sama Allah, minta supaya teman-teman di sekolah baru sayang sama Angel. Walaupun nanti ada yang jahat, Angel kan masih punya banyak orang yang sayang dan peduli. Angel punya Papa-Vin, Mama-Sil, Koko Stevent, Cici Carol, Cici Thalita, Dokter Tian, Suster Adinda, dan Uncle Revan..."