Mohon tunggu...
Latifah Maurinta
Latifah Maurinta Mohon Tunggu... Novelis - Penulis Novel

Nominee best fiction Kompasiana Awards 2019. 9 September 1997. Novel, modeling, music, medical, and psychology. Penyuka green tea dan white lily. Contact: l.maurinta.wigati@gmail.com Twitter: @Maurinta

Selanjutnya

Tutup

Cerpen Pilihan

Malaikat Tampan Berkalung Tasbih di Misa Requiem

24 Agustus 2018   05:53 Diperbarui: 24 Agustus 2018   05:55 818
+
Laporkan Konten
Laporkan Akun
Kompasiana adalah platform blog. Konten ini menjadi tanggung jawab bloger dan tidak mewakili pandangan redaksi Kompas.
Lihat foto
Bagikan ide kreativitasmu dalam bentuk konten di Kompasiana | Sumber gambar: Freepik

Sepertiga malam tiba, dingin dan berkabut. Saatnya mereka yang beriman bangun. Ketika kebanyakan orang masih terlelap di balik selimut mereka yang nyaman, sebagian kecil justru terbangun untuk merenung, berpikir, menikmati sepi, dan bermesraan dengan Tuhan. Sepertiga malam sering dimanfaatkan untuk lebih mendekat padaNya.

Dalam tidurnya, tetiba Calvin terbatuk. Darah mengalir, membasahi bibirnya. Saat terbangun, tak sengaja ia meremas tangan halus yang menggenggam lembut jemarinya. Pemilik tangan putih nan mulus itu tersentak bangun.

"Masya Allah...ada apa, Calvin?" bisik Julia lembut.

Dia lihat wajah Calvin begitu pucat. Mata Julia terbuka lebar seketika mendapati noda darah. Cepat diambilnya cawan keperakan di atas nakas, didekatkannya benda itu.

"Muntahkan, Calvin."

Benar saja. Calvin muntah darah. Beberapa saat lamanya pria tampan itu memuntahkan darah segar. Memenuhi benda perak di tangan Julia dengan cairan merah.

Mata Julia mengerjap. Bulu matanya yang lentik bergerak-gerak. Awan menepi di bola mata dan wajah cantiknya. Ya, Allah, mengapa penyakit itu diberikan untuk Calvin? Mengapa orang sebaik dirinya harus ditimpa ujian berat? Calvin mengeluarkan banyak darah.

"Kupanggilkan dokter ya..." kata Julia, tangannya gemetar hebat saat meletakkan benda itu.

Calvin menggenggam erat tangan putri cantik super mandiri itu. "Tidak. Tetaplah di sini, Julia."

"Tapi..."

"Please."

Mata sipit bening itu, menatap teramat lembut. Meluluhkan hati Julia. Mengapa Calvin mudah sekali membuat hati orang luluh? Julia mengalah.

"Aku ingin Tahajud, Julia." pinta Calvin.

Wanita keturunan Sunda-Jawa-Belanda itu mengangguk. Pelan-pelan menuntun Calvin bangun dari tempat tidur. Membantunya berwudhu. Calvin berkeras shalat dengan cara normal. Dengan lembut, Julia memakaikan jas ke tubuh Calvin.

Dijatuhkannya tubuh ke sofa. Tatapannya terfokus ke arah pria tinggi semampai yang tengah mengerjakan shalat sunnah itu. Tergetar hati Julia. Andai saja siklus kewanitaannya bisa di-cancel, ia dengan senang hati shalat bersama pria berhati malaikat tersebut.

"Calvin Wan, you're a religious man." gumam Julia tanpa sadar, matanya berkaca-kaca.

Sepuluh rakaat Tahajud dan tiga rakaat Witir Calvin kerjakan dengan sempurna. Pada rakaat-rakaat terakhir, berulang kali dia kehilangan keseimbangan. Nyaris saja jatuh. Namun, Calvin bisa bertahan, selalu bisa. Allah menguatkannya.

Malaikat tampan bermata sipit mengisi sepertiga malamnya dengan shalat. Selesai shalat, ia berzikir cukup lama. Sesekali menahan rasa sakit. Punggung dan perut bagian bawahnya sakit sekali.

"Kamu kuat, Calvin. Ketegaranmu membuatku bangga." Julia hangat memuji.

Calvin kembali berbaring di tempat tidurnya. iPad tergenggam di tangan. Kali ini ditulisnya sebuah artikel. Kondisi sakit bukan alasan untuk berhenti ngeblog.

Tanpa Calvin sadari, Julia menatapinya. Wanita cantik itu kagum pada semangatnya untuk tetap menulis walau dalam kondisi sakit. Julia tahu, Calvin lebih jarang menulis sejak sakit. Tentang rasa sakitnya, Calvin mampu menutup rapat di depan rekan-rekan sesama blogger. Beberapa rekan blogger dikenal pula oleh Julia. Masih segar dalam ingatan, ada saat-saat Calvin terlihat sehat. Ada pula saat ia tak bisa lagi menyembunyikan rasa sakitnya. Saat kondisinya sedang bagus, Calvin akan memanfaatkannya untuk bertemu teman-teman bloggernya. Ia takkan bertemu mereka saat kondisinya menurun.

"Julia?" Calvin memanggil lembut Julia setelah memposting tulisannya.

"Iya, Calvin?"

"Aku masih merasa bersalah pada Revan dan Silvi."

"Tidak bisakah kausimpan dulu? Fokuslah pada kesehatanmu. Aku tahu...kau tidak sembuh lagi."

"That's not important, Julia."

Julia menggeleng kuat. "Kesehatanmu yang terpenting. Tidurlah lagi. Aku selalu di sini..."

Tetap saja Calvin resah. Berulang kali ia bergerak gelisah di ranjang. Mengubah-ubah posisi tubuhnya. Ditingkahi tatapan Julia. Calvin Wan memang sosok serupawan malaikat. Lihat, bahkan posisi tidurnya pun manis.

"Calvin, bisa saja Silvi tidak menyalahkanmu. Tapi..."

"Tapi apa, Julia?"

"Tapi, Revan mempengaruhinya untuk menjauhimu. Kau tahu kan, sebesar apa rasa sayang Silvi pada Revan. Mereka sepupu, tumbuh bersama sejak kecil. Setelah orang tua mereka meninggal, Silvi lebih bergantung pada Revan."

Calvin terenyak. Benar apa yang dikatakan Julia. Ada kemungkinan Silvi tidak menyalahkannya. Dia hanya menuruti permintaan Revan. Jika benar begitu, menyedihkan sekali. Jalannya untuk selalu di dekat Silvi tertimpa halangan besar.

"Oh Calvin, what can I do for you? Apa yang bisa kulakukan agar kamu tenang?" tanya Julia halus.

"Bernyanyilah untukku..."

Tanpa kata, Julia mengambil biolanya. Syukurlah letak kamar rawat VIP jauh dari ruang rawat lainnya. Praktis takkan mengganggu ketenangan pasien kalaupun bernyanyi di saat seperti ini.

Putri cantik super mandiri menyanyikan lagu untuk malaikat tampan bermata sipit. Charming. Dawai-dawai biola bicara, mengalunkan nada indah.

Ada dua cinta menerangi jalan kehidupanku

Aku bisa apa

Jika cintaku berat padanya

Aku tahu pasti

Sakit dan pedihnya pengorbananmu

Saat kauikhlaskan aku bahagia dengannya (Bunga Citra Lestari-Aku Bisa Apa).

Sedikit lagi...sedikit lagi Calvin, batin Julia. Kristal bening merayapi mata indahnya. Sedikit lagi saja Calvin mau bicara padanya, mengungkap resahnya, menyublim pedih hatinya dalam kata-kata. Julia memahami, Calvin merasa sangat sakit.

Di saat seperti ini, hanya Julia yang bisa mendampingi Calvin melewati rasa sakitnya. Keenam sahabat tak bisa diandalkan. Revan dan Silvi masih marah pada Calvin. Rossie sengaja menjaga jarak, tak ingin mengulang kesalahan yang sama. Anton sibuk dengan pembukaan cabang ketiga restorannya. Calisa fokus menemani Anton. Albert terlalu sibuk dengan jadwal operasi. Hanya Julia yang selalu ada. Julia bertekad tidak akan meninggalkan Calvin.

Sejak Calvin pertama kali divonis mengidap Kidney cancer, ketujuh sahabat berlatih merawat dan menjaganya. Alhasil mereka terlatih untuk sabar dan mahir merawat orang sakit. Mereka bertujuh terbiasa memandikan, menyuapi, membantu memberikan obat, dan memenuhi keperluan pribadi orang sakit. Bahkan, mereka pun menyimpan kursi roda dan beberapa peralatan lainnya. Bertahun-tahun mereka terbiasa merawat dan mengasihi orang-orang yang istimewa karena penyakit.

**    

Kain washlap itu diperasnya. Lalu dicelupkan lagi ke baskom berisi air hangat. Dengan lembut, Julia menyeka tubuh Calvin. Membersihkan tubuhnya. Merapikan rambutnya.

"Nah, selesai..." kata Julia, meletakkan baskom yang telah kosong.

Sekilas Calvin melirik Julia. Manik matanya menangkap kesigapan berpadu kelembutan. Kebaikan hati Julia, cara Julia merawatnya selama seminggu terakhir, dipastikan membuat hati pria mana pun meleleh.

Dua menit kemudian, Julia kembali ke sisi ranjang. Di tangannya terdapat nampan berisi semangkuk bubur, segelas air putih, dan beberapa butir obat. Ia menyuapi Calvin dengan sabar. Tapi, Calvin hanya menelan beberapa suapan.

"Kenapa?" tanya Julia, tetap lembut.

"Sudah cukup, Julia." Calvin menepis pelan sendok di tangan wanita itu.

Julia mendesah. "Kamu tidak mau sembuh?"

"Bukan begitu..."

Itulah gunanya kesabaran. Kini Julia menggunakan kuota kesabarannya untuk membujuk Calvin. Ada saat-saat tertentu ketika merawat orang sakit menjadi ujian sabar. Julia dan keenam sahabat terbiasa melewatinya dengan baik.

Baru saja isi nampan sarapan itu tandas, penanda notifikasi di smartphone Calvin berbunyi. Julia mengambilkan benda canggih berlogo apel tergigit itu tanpa diminta. Ketika dibuka, ternyata chat dari Rossie.

Debaran di hatinya bertambah cepat. Ada apa Rossie menghubunginya sepagi ini? Bukankah Rossie sendiri yang memutuskan menjaga jarak demi menjaga perasaan Revan? Pasti ada yang penting.

Sedetik. Tiga detik. Lima detik. Smartphone mahal itu meluncur lepas dari jemari tangan Calvin. Jatuh ke lantai. Seraut wajah tampan itu pucat pasi.

"Astaga...kamu kenapa, Calvin?" tanya Julia kaget, memungut iPhone yang jatuh.

"Kata Rossie, Mamanya Angel meninggal. Kecelakaan mobil. Angel ikut jadi korban, tapi selamat."

"Innalillahi wa inna ilaihi rajiun..."

Mereka bertatapan. Ada duka di mata Calvin. Ada binar kesedihan di mata itu. Detik berikutnya, Calvin berkata dengan nata perlahan.

"Julia, let me go..."

Sudah dikiranya. Refleks diraihnya tangan kurus dan dingin itu. Digenggamnya erat-erat.

"Nope..."

"Please...aku ingin menemani Angel. Hari ini Misa Requiem Mamanya..."

Lama keduanya beradu bisikan. Berdebat dengan suara lembut. Beradu tatap dengan kekuatan yang termiliki. Akhirnya, Julia kembali mengalah. Mengalah untuk kedua kali di bawah tatapan lembut Calvin.

Lagi-lagi Julia harus sibuk. Bernegosiasi dengan tim dokter. Memohon agar mereka mengizinkan Calvin keluar sebentar saja untuk menghadiri Misa Requiem. Dibujuk perempuan cantik, tim dokter yang semuanya laki-laki itu luluh juga.

Setelahnya, ia membantu Calvin memakai jas. Berhati-hati agar kalung tasbihnya tidak terlepas. Diliriknya cermin. Ada yang kurang pas, pikirnya gelisah.

"Calvin, kamu pucat sekali. Kamu tidak mau dikira mayat hidup yang datang ke Misa Requiem, kan? Wait..." Julia bergerak mengambil kotak berukuran sedang dari koper kecil di sudut kamar.

Tutup kotak dibuka. Beberapa barang melompat keluar. Dalam hitungan menit, Julia memberikan sedikit sentuhan di wajah Calvin. Hanya make up dasar khusus pria. BB Cream, foundation, dan concealer. Ia pakaikan pula Beard & Brow Filler untuk mempertegas alis.

"Manscara? Ah...kurasa tidak perlu. Bulu matamu sudah lentik, Calvin." Julia bergumam sendiri, menutup kembali kotak itu dan memasukkannya ke dalam koper.

Calvin biarkan saja Julia memperbaiki penampilannya. Sebenarnya, tanpa make up khusus pria pun, Calvin Wan tetaplah tampan.

Mereka meninggalkan rumah sakit satu jam berikutnya. Kali ini, satu dari tiga supir pribadi Calvin yang mengantar. Rasa bersalah mengendap di hati Calvin. Kondisinya telah menyusahkan banyak orang. Mengapa ia harus duduk di kursi roda begini, sementara orang-orang di sekitarnya merelakan waktu untuknya?

**     

"Dikau, Tuhan, jadilah impianku, hanya Engkau pangkal bahagiaku. Siang dan malam kupikirkan Engkau; bila Kau hadir, terang hidupku..."

Lagu pembuka Misa Requiem mengalun lembut saat Calvin dan Julia datang. Turun dari mobil, mereka disambut pemandangan mengharukan. Barisan kursi dipenuhi orang-orang berwajah sedih. Tumpukan karangan bunga dimana-mana. Angel dengan wajah sendu berurai air mata.

Pagi ini, Julia nampak cantik dalam balutan gaun hitam. Jas hitam yang dikenakan Calvin senada dengan gaun hitam Julia. Putri cantik super mandiri itu mendorong kursi roda Calvin pelan-pelan. Melewati para pelayat. Mengucap permisi dengan santun.

Kedatangan Calvin dan Julia langsung saja merebut atensi. Semua mata tertuju pada mereka. Bagaimana tidak, sesosok pria tampan berparas oriental dan berkalung tasbih datang ke Misa Requiem. Kalung tasbih bukanlah pemandangan biasa dalam Misa.

Mata Calvin terfokus ke satu titik: Angel. Ya, Angel. Gadis kecil yang pernah ia antarkan ke kapel. Gadis kecil berwajah jelita itu makin terpuruk. Ia terisak tanpa henti. Wajahnya mencerminkan kesedihan mendalam. Sungguh, Calvin tak tega melihat kesedihan Angel.

Misa Requiem berbalut duka dan ironi. Ironi lantaran Misa ini dipimpin seorang Pastor yang pernah menanamkan benihnya di rahim wanita yang kini telah menjadi jenazah. Buah cinta dari benih yang ditanamnya berdiri di sini, tak dipedulikan ayah kandungnya. Sang ayah lebih memilih mencintai panggilannya, tak mau lepas jubah demi putrinya.

Namun, bukankah Tuhan Maha Adil? Boleh saja sang Pastor menelantarkan anak haramnya. Di sisi lain, ada pria berhati malaikat yang siap mencurahkan kasih sayangnya setulus hati untuk Angel.

"Calvin, apa yang kaulakukan?" sergah Julia begitu melihat Calvin berusaha bangkit dari kursi rodanya.

Mengabaikan pertanyaan Julia, Calvin berusaha sekuat mungkin melangkahkan kaki. Ia bisa, masih bisa melangkah dengan kedua kakinya. Allah memberi Calvin kekuatan. Kekuatan untuk terus melangkah di tengah rasa sakit, kekuatan untuk menghampiri sosok cantik tak berdaya.

"Angel...Angel Sayang."

Calvin berlutut di depan gadis kecil itu. Angel mengangkat wajah. Dua pasang mata sipit bertatapan. Tentu saja Angel siapa pria itu. Pria baik hati yang menggendongnya dengan lembut, menyelimutinya scarf, memberinya susu hangat, dan mengantarnya ke kapel.

"Mulai sekarang, Angel tidak akan sendirian. Jangan sedih ya, Sayang. I will be your...Daddy."

"Daddy?" lirih Angel, disambuti anggukan mantap Calvin.

Awan-awan di mata Angel pecah. Jatuh dalam bentuk air mata. Ia kembali terisak, kali ini isakan haru.

Calvin dan Angel berpelukan. Disaksikan para pelayat lainnya. Tak sedikit pelayat yang menangis. Calvin Wan, malaikat tampan bermata sipit itu, blogger dan pengusaha itu, telah membuat keputusan besar dalam hidupnya.

Sementara itu, sang Pastor yang memimpin Misa, menyeka ujung mata. Menelan kepahitan dalam-dalam. Anak cantik itu akan semakin jauh darinya. Putrinya, yang terlahir dari keegoisan dan cinta terlarang, akan dirawat seorang pria Muslim. Bayangkan, anak seorang Pastor dirawat pengusaha Muslim. Ironi dan luka di dunia, karena cinta.

**     


Follow Instagram @kompasianacom juga Tiktok @kompasiana biar nggak ketinggalan event seru komunitas dan tips dapat cuan dari Kompasiana
Baca juga cerita inspiratif langsung dari smartphone kamu dengan bergabung di WhatsApp Channel Kompasiana di SINI

HALAMAN :
  1. 1
  2. 2
  3. 3
  4. 4
  5. 5
  6. 6
  7. 7
  8. 8
  9. 9
Mohon tunggu...

Lihat Konten Cerpen Selengkapnya
Lihat Cerpen Selengkapnya
Beri Komentar
Berkomentarlah secara bijaksana dan bertanggung jawab. Komentar sepenuhnya menjadi tanggung jawab komentator seperti diatur dalam UU ITE

Belum ada komentar. Jadilah yang pertama untuk memberikan komentar!
LAPORKAN KONTEN
Alasan
Laporkan Konten
Laporkan Akun