Lama keduanya beradu bisikan. Berdebat dengan suara lembut. Beradu tatap dengan kekuatan yang termiliki. Akhirnya, Julia kembali mengalah. Mengalah untuk kedua kali di bawah tatapan lembut Calvin.
Lagi-lagi Julia harus sibuk. Bernegosiasi dengan tim dokter. Memohon agar mereka mengizinkan Calvin keluar sebentar saja untuk menghadiri Misa Requiem. Dibujuk perempuan cantik, tim dokter yang semuanya laki-laki itu luluh juga.
Setelahnya, ia membantu Calvin memakai jas. Berhati-hati agar kalung tasbihnya tidak terlepas. Diliriknya cermin. Ada yang kurang pas, pikirnya gelisah.
"Calvin, kamu pucat sekali. Kamu tidak mau dikira mayat hidup yang datang ke Misa Requiem, kan? Wait..." Julia bergerak mengambil kotak berukuran sedang dari koper kecil di sudut kamar.
Tutup kotak dibuka. Beberapa barang melompat keluar. Dalam hitungan menit, Julia memberikan sedikit sentuhan di wajah Calvin. Hanya make up dasar khusus pria. BB Cream, foundation, dan concealer. Ia pakaikan pula Beard & Brow Filler untuk mempertegas alis.
"Manscara? Ah...kurasa tidak perlu. Bulu matamu sudah lentik, Calvin." Julia bergumam sendiri, menutup kembali kotak itu dan memasukkannya ke dalam koper.
Calvin biarkan saja Julia memperbaiki penampilannya. Sebenarnya, tanpa make up khusus pria pun, Calvin Wan tetaplah tampan.
Mereka meninggalkan rumah sakit satu jam berikutnya. Kali ini, satu dari tiga supir pribadi Calvin yang mengantar. Rasa bersalah mengendap di hati Calvin. Kondisinya telah menyusahkan banyak orang. Mengapa ia harus duduk di kursi roda begini, sementara orang-orang di sekitarnya merelakan waktu untuknya?
** Â Â Â
"Dikau, Tuhan, jadilah impianku, hanya Engkau pangkal bahagiaku. Siang dan malam kupikirkan Engkau; bila Kau hadir, terang hidupku..."
Lagu pembuka Misa Requiem mengalun lembut saat Calvin dan Julia datang. Turun dari mobil, mereka disambut pemandangan mengharukan. Barisan kursi dipenuhi orang-orang berwajah sedih. Tumpukan karangan bunga dimana-mana. Angel dengan wajah sendu berurai air mata.