Mohon tunggu...
Latifah Maurinta
Latifah Maurinta Mohon Tunggu... Novelis - Penulis Novel

Nominee best fiction Kompasiana Awards 2019. 9 September 1997. Novel, modeling, music, medical, and psychology. Penyuka green tea dan white lily. Contact: l.maurinta.wigati@gmail.com Twitter: @Maurinta

Selanjutnya

Tutup

Cerpen

[Melodi Silvi 2] Saya Muslim Kulit Putih, Maukah Memeluk Saya?

17 Juli 2018   05:42 Diperbarui: 17 Juli 2018   06:25 990
+
Laporkan Konten
Laporkan Akun
Kompasiana adalah platform blog. Konten ini menjadi tanggung jawab bloger dan tidak mewakili pandangan redaksi Kompas.
Lihat foto
Cerpen. Sumber ilustrasi: Unsplash

Begini rasanya bertahan di antara rasa sakit. Seperti diserang ribuan jarum jahat bukan lagi hal baru. Terjadi setiap hari, membuat tubuh yang menahan ganasnya sel-sel kejam pembawa penyakit itu menjadi terbiasa. Berusaha melenturkan raga agar terbiasa dengan sakit ini. Berteman dengan rasa sakit, mungkin satu lagi cara untuk terus bertahan.

Seperti itulah yang dirasakan Calvin. Sejak kedatangan Dinda dan Reno, sakitnya bertambah berkali-kali lipat. Bukan hanya sakit di tubuhnya, tetapi juga di hatinya. Demi Allah yang Maha Cinta, Calvin ikhlas Reno menampar dan menyakitinya. Tetapi ia takkan tinggal diam bila Dinda yang jadi korban.

Sejak pagi, Calvin menahan rasa sakitnya. Ia alihkan pikiran dengan menulis artikel di melodisilvi.com. Ia isi lagi website yang mengingatkannya pada putri angkatnya. Silvi, peri kecilnya, yang kini ada di pelukan orang lain.

Calvin menulis dan terus menulis. Blogger super tampan itu menuangkan kisah tentang dampak buruk fanatisme beragama. Fanatisme beragama bisa melukai orang lain. Di bawah tekanan rasa sakit, malaikat tampan bermata sipit terus menuliskan kebenaran.

Atmosfer kecemasan melingkupi rumah besar itu. Kesepuluh pekerja diam-diam memperhatikan tuan muda mereka dengan ketakutan. Mereka sangat mengkhawatirkan kondisi Calvin.

Biar pun lugu, jangan kira kesepuluh pegawai yang bekerja di rumah Calvin itu bodoh. Mereka tidak tutup mata. Kedatangan lelaki hitam pagi tadi telah membuat tuan muda mereka terguncang. Setidaknya, itulah yang mereka pahami.

Tak kuat lagi menulis, Calvin menutup laptopnya. Beranjak meninggalkan ruang kerja. Melangkah sedikit limbung ke kamar birunya di lantai paling atas. Kerja bagus untuk melodisilvi.com hingga sore ini.

Pintu kayu berpernis mengilap terayun membuka. Embusan dingin air conditioner menyerbu lengan, kaki, dan tangannya. Wangi citrus begitu menyegarkan. Detakan jarum jam terdengar di sela desis lembut AC.

Kamar berkarpet biru pucat dengan dinding dan langit-langit biru pula ini masih sama. Sebuah kamar tidur mewah yang menawarkan kenyamanan untuk pemiliknya. Nyaris tak ada yang berubah dari kamar Calvin di masa kecilnya itu. Rak-rak buku, grand piano, ranjang biru berukuran king size, meja belajar penuh textbook, pigura-pigura foto, balkon kamar, dan kamar mandi pribadi, semuanya masih sama. Tak ada letak barang yang diubah.

Enggan mengganti setelan jasnya, Calvin merebahkan tubuh di ranjang. Terus mendaraskan doa dalam hati, berharap rasa sakitnya pergi. Calvin berbaring tak bergerak, tak bergerak, tak bergerak. Ia tetap tampan dalam kesakitan.

Langit melukiskan gradasi orange dan jingga di luar sana. Fragmen senja yang indah kontras dengan kesuraman hati pemilik rumah mewah di lereng bukit. Hati seorang pria yang tersakiti, dan baru saja melihat wanita yang dicintainya dilukai.

Suara lembut Bilal menyerukan ibadah menyejukkan hatinya. Pelan-pelan ia bangkit, tertatih mengambil wudhu. Shower menyala. Air hangat mengalir lembut.

Lantai putih di bawah kakinya berputar. Rasa sakit mengganas. Bahkan sulit hanya untuk menarik nafas. Seperti bersusah payah mengambil oksigen dari kedalaman air.

Air? Air apa ini yang mengalir di mulut dan hidungnya? Detik berikutnya, Calvin muntah. Darah segar berceceran di lantai.

"Astaga, Tuan!"

Suara-suara bernada panik terdengar. Telepon diangkat dengan terburu-buru. Menit demi menit mendebarkan lewat. Sesaat kemudian terdengar deru mesin mobil, bantingan pintu, dan langkah sepatu menaiki tangga.

**      

Albert datang paling dulu. Memang tak ada sesuatu yang terjadi karena kebetulan, seperti kata Harun Yahya. Ketika panggilan penting itu mendarat di telepon pintarnya, Albert sedang berada di dekat rumah Calvin. Ia baru saja silaturahmi dengan koleganya yang akan berangkat Haji. Dokter Onkologi setengah bule itu mengangkat tubuh Calvin. Membaringkannya, menyelimutinya, dan bergumam marah.

"Reno...you start to play this game. Kau akan membayar rasa sakit sahabatku."

Dalam kondisi setengah sadar, Calvin masih bisa mendengar ucapan itu. Diremasnya tangan kanan Albert yang tengah memegang stetoskop.

"Jangan, Al. Jangan gegabah membalasnya."

Derap langkah berlari mengalihkan atensi. Anton dan Revan berlari masuk. Keduanya terengah, terlihat cemas luar biasa. Lipatan jas Anton nampak tak rapi lagi. Rambut pirang Revan berantakan.

"Reno licik! Akan kubalas dia karena sudah melukai sahabat terbaikku!" Anton memaki. Bisa dipastikan Tuan Sulistyo, Nyonya Belinda, dan Luna akan menegurnya bila mendengar anak priyayi seperti dirinya berkata kasar begitu.

"Dia sudah menyakitimu," gumam Revan pelan, sedih dan tak rela.

"Anton, Revan, Albert, please...jangan terbawa emosi. Lawan Reno dengan kekuatan pikiran, bukan kekuatan fisik." lirih Calvin.

"Kamu terlalu baik, Calvin. Reno sudah menyakiti Dinda dan kamu..."

"Calvin demam. Kondisi sangat tidak baik. Tekanan jiwa membuat penyakit bertambah parah." Albert menyela tajam.

Anton mendesah cemas. Revan mengangguk paham. Calvin merasa sedih karena telah menyusahkan ketiga sahabatnya.

"Sorry..." Calvin meminta maaf, dan ia benar-benar menyesal.

"No problem. That's what friends are for." Revan menepis halus permintaan maaf itu, bergerak gesit ke built-in clothes. Mengambilkan pakaian ganti.

"Ya ampun Calvin, di rumah pun kamu selalu rapi ya..." komentar Revan saat membantu Calvin melepas jas dan mengganti pakaiannya.

Sementara Revan mengganti pakaian Calvin, Anton dan Albert mengemasi beberapa barang ke dalam Joy Boston Bag. Dua sahabat ini sempat ragu membawa barang semahal itu hanya untuk ke rumah sakit. Namun, inilah koper milik Calvin yang paling dekat dalam jangkauan tangan mereka.

**      

Lagi-lagi kamar mewah serba putih ini. Calvin melempar pandang bosan ke arah seperangkat peralatan medis lengkap dan satu set sofa. Bukannya ia tak mensyukuri fasilitas mewah yang selalu tersedia untuknya tiap kali dirawat di rumah sakit. Namun ia jemu harus terus terkurung di sini.

"Sabar, Calvin. Kamu boleh pulang kalau kondisimu sudah membaik." hibur Revan.

"Tapi sampai kapan? Albert tidak memberi tahumu apa-apa?" tanya Calvin menyelidik.

Revan menggeleng. Satu tangannya meletakkan washlap dan baskom yang telah kosong. Ia baru selesai menyeka tubuh Calvin dengan air hangat. Banyak perawat stand by 24 jam di kelas VIP ini. Namun Anton, Albert, dan Revan tak membiarkan mereka melayani kebutuhan pribadi Calvin. Ketiga sahabat Kaukasia itu bergantian menjaganya. Memiliki sahabat yang istimewa karena penyakit membuat tiga pria high quality itu terlatih untuk sabar dan pengertian. Mereka jadi terbiasa merawat orang sakit, memandikan, menyuapi, membersihkan darah, mendorong kursi roda, sampai meminumkan obat.

"Aku ingin jalan-jalan," pinta Calvin satu jam kemudian.

Mata biru pucat Revan melebar. "Jalan-jalan? Hei, are you sure?"

Anggukan mantap dan senyum meyakinkan Calvin membuat Revan tak berkutik. Ia pun membawa Calvin keluar ruangan.

"Albert bisa membunuhku kalau dia tahu aku membawamu keluar tanpa izin." Revan berbisik, mendorong kursi roda Calvin di sepanjang koridor.

"Tidak, biar aku yang bilang nanti. Tenang saja."

Saat mereka melewati bangsal kelas 3, terlihat seorang anak berpiyama rumah sakit terjatuh. Kepala botaknya membentur lantai. Si anak lelaki berusia sekitar 10 tahun itu menangis keras-keras.

"Kasihan anak itu. Aku harus menolongnya." Calvin berkata pelan, bersiap bangkit dari kursi rodanya. Pria kelahiran 9 Desember itu lupa pada kondisi kesehatannya sendiri.

Revan mencegahnya. Sebagai gantinya, pria Minahasa-Turki-Portugis itulah yang berlari menolong si anak lelaki.

"Kamu tidak apa-apa, Sayang?" Revan bertanya lembut, berlutut di depan anak itu.

Anak laki-laki berkepala botak itu terisak. Revan mengusap lembut kepalanya yang berdarah, lalu membebat lukanya. Calvin merasa semakin sedih dan tak berguna. Ia hanya bisa menyaksikan dari atas kursi rodanya, tak bisa ikut menolong anak itu.

Pelan-pelan didekatkannya kursi roda ke samping Revan dan anak malang yang kini berada di pangkuannya. Satu-dua kali masih terdengar anak itu terisak kesakitan. Bersama Revan, Calvin ikut menenangkan.

"Wilfran?"

Pintu sal kelas 3 membuka lebar. Seorang pria berkulit coklat dan berwajah persegi tergesa berjalan keluar. Raut wajahnya cemas dan tertekan.

**     

Why don't we share the same love?

Tell me why not

Life is shorter than most had thought

Hold my hand

There are many ways to do it right

Hold my hand

Turn around and see what we've left behind

Hold my hand my friend

We could save the good spirit in me and you

For another chance

And let's pray for the beautiful world

Beautiful world I share with you (Maher Zain-Hold My Hand).

**     

Demi melihat dua pria tampan berkulit putih di depannya, lelaki berwajah persegi itu nampak waswas. Tatapannya curiga.

"Kalian apakan Wilfran? Jangan lukai anak saya! Dia sudah cukup menderita akibat bom yang diledakkan di tempat ibadah kami!" serunya dengan nada menuduh.

"Kami hanya menolong anak Anda. Tadi Wilfran jatuh dan terluka." jelas Revan dan Calvin hampir bersamaan.

Si lelaki berwajah persegi ingin marah lagi. Namun disela suara lembut anak lelakinya yang kini berpindah tangan ke pangkuan Calvin.

"Benar kok, Pap. Om-Om ganteng ini yang bantu Wilfran."

Ketegangan di wajah itu terurai. Ia tersenyum tipis.

"Terima kasih. Maaf, tadi saya sudah mencurigai kalian."

Ketiganya berkenalan. Lelaki berwajah persegi itu bernama Laurensius, ayah Wilfran. Ia seorang Koster gereja. Saat itulah tak sengaja Laurensius melihat kalung tasbih di leher Revan. Benda mungil keperakan yang sama melingkar pula di pergelangan tangan Calvin.

Sesaat Laurensius paham. Meski demikian, ia tak lagi mencurigai Calvin dan Revan. Kini dia justru bersemangat menceritakan buruknya pelayanan kelas 3. Suster yang ketus, dokter yang jarang visit, kamar yang kotor dan sempit, ransum makanan yang tidak enak, dan keharusan berbagi ruangan dengan empat pasien sekaligus.

"...Tiap malam, anakku tak bisa tidur karena mendengar suara batuk, muntahan, dan erangan pasien di kanan-kirinya. Iya kan, Nak?" Laurensius membelai-belai kepala Wilfran.

Mendengar kisahnya, Calvin dan Revan bersimpati. Di balik kemewahan yang mereka nikmati, ada banyak orang tak beruntung yang harus meraskan pelayanan kesehatan berkualitas rendah.

Tergerak hati Calvin untuk masuk ke sal tempat Wilfran dan berinteraksi dengan pasien lainnya. Revan sempat ragu-ragu. Tidakkah terlalu riskan? Namun Calvin berkeras. Tak tega, Revan pun mendorong kursi roda Calvin ke dalam ruang perawatan kelas 3.

Apa yang dikatakan ayah Wilfran benar. Lantai dikotori sisa darah, dahak, dan plester. Seorang suster yang meletakkan mangkuk ke samping ranjang pasien memasang wajah dingin. Campuran aroma obat-obatan, darah, dan pakaian kotor menerpa indera penciuman. Sangat jauh berbeda dengan mewahnya ruang rawat Calvin.

Wajah-wajah kesakitan menyambut Calvin dan Revan. Pria-wanita berkulit hitam dan berambut keriting menatap mereka dengan tertarik.

"Ruangan ini unik. Semua pasiennya jemaat gereja saya." Laurensius berbisik senang.

Calvin dan Revan menyapa pasien-pasien kelas 3 itu hangat. Berkenalan dengan mereka, memberikan senyum tulus untuk mereka, dan mendengarkan keluhan mereka. Di ruangan berbau obat dan darah itu, pasien kelas 3 dan VIP bersatu. Muslim kulit putih melebur dengan orang-orang yang berbeda etnis dan keyakinan. Dua warna kulit menyatu di satu ruangan. Empati mengalir setulus hati. Kasih menghangatkan hati yang kesepian dan kesakitan.

Seorang pria tua memegang erat tangan Revan sambil mengucapkan terima kasih. Kunjungan pria setampan dan seistimewa Calvin dan Revan ternyata sangat berarti baginya. Perempuan berkulit hitam dengan kalung salib di lehernya menangis tersedu di pelukan Calvin setelah pria oriental itu mendengarkan ceritanya dan berjanji akan membantu menyelesaikan masalahnya.

Para pasien kelas 3 sangat wellcome pada dua Muslim tampan itu. Tak ada kecurigaan, stereotip, prasangka, dan penolakan. Hanya ada penerimaan dan kasih yang tulus.

Bahagianya Calvin dan Revan. Mereka bisa diterima tanpa dilekati stereotip dan prasangka.

**     

HALAMAN :
  1. 1
  2. 2
  3. 3
  4. 4
  5. 5
  6. 6
  7. 7
  8. 8
Mohon tunggu...

Lihat Konten Cerpen Selengkapnya
Lihat Cerpen Selengkapnya
Beri Komentar
Berkomentarlah secara bijaksana dan bertanggung jawab. Komentar sepenuhnya menjadi tanggung jawab komentator seperti diatur dalam UU ITE

Belum ada komentar. Jadilah yang pertama untuk memberikan komentar!
LAPORKAN KONTEN
Alasan
Laporkan Konten
Laporkan Akun