Lagi-lagi kamar mewah serba putih ini. Calvin melempar pandang bosan ke arah seperangkat peralatan medis lengkap dan satu set sofa. Bukannya ia tak mensyukuri fasilitas mewah yang selalu tersedia untuknya tiap kali dirawat di rumah sakit. Namun ia jemu harus terus terkurung di sini.
"Sabar, Calvin. Kamu boleh pulang kalau kondisimu sudah membaik." hibur Revan.
"Tapi sampai kapan? Albert tidak memberi tahumu apa-apa?" tanya Calvin menyelidik.
Revan menggeleng. Satu tangannya meletakkan washlap dan baskom yang telah kosong. Ia baru selesai menyeka tubuh Calvin dengan air hangat. Banyak perawat stand by 24 jam di kelas VIP ini. Namun Anton, Albert, dan Revan tak membiarkan mereka melayani kebutuhan pribadi Calvin. Ketiga sahabat Kaukasia itu bergantian menjaganya. Memiliki sahabat yang istimewa karena penyakit membuat tiga pria high quality itu terlatih untuk sabar dan pengertian. Mereka jadi terbiasa merawat orang sakit, memandikan, menyuapi, membersihkan darah, mendorong kursi roda, sampai meminumkan obat.
"Aku ingin jalan-jalan," pinta Calvin satu jam kemudian.
Mata biru pucat Revan melebar. "Jalan-jalan? Hei, are you sure?"
Anggukan mantap dan senyum meyakinkan Calvin membuat Revan tak berkutik. Ia pun membawa Calvin keluar ruangan.
"Albert bisa membunuhku kalau dia tahu aku membawamu keluar tanpa izin." Revan berbisik, mendorong kursi roda Calvin di sepanjang koridor.
"Tidak, biar aku yang bilang nanti. Tenang saja."
Saat mereka melewati bangsal kelas 3, terlihat seorang anak berpiyama rumah sakit terjatuh. Kepala botaknya membentur lantai. Si anak lelaki berusia sekitar 10 tahun itu menangis keras-keras.
"Kasihan anak itu. Aku harus menolongnya." Calvin berkata pelan, bersiap bangkit dari kursi rodanya. Pria kelahiran 9 Desember itu lupa pada kondisi kesehatannya sendiri.