"Kami hanya menolong anak Anda. Tadi Wilfran jatuh dan terluka." jelas Revan dan Calvin hampir bersamaan.
Si lelaki berwajah persegi ingin marah lagi. Namun disela suara lembut anak lelakinya yang kini berpindah tangan ke pangkuan Calvin.
"Benar kok, Pap. Om-Om ganteng ini yang bantu Wilfran."
Ketegangan di wajah itu terurai. Ia tersenyum tipis.
"Terima kasih. Maaf, tadi saya sudah mencurigai kalian."
Ketiganya berkenalan. Lelaki berwajah persegi itu bernama Laurensius, ayah Wilfran. Ia seorang Koster gereja. Saat itulah tak sengaja Laurensius melihat kalung tasbih di leher Revan. Benda mungil keperakan yang sama melingkar pula di pergelangan tangan Calvin.
Sesaat Laurensius paham. Meski demikian, ia tak lagi mencurigai Calvin dan Revan. Kini dia justru bersemangat menceritakan buruknya pelayanan kelas 3. Suster yang ketus, dokter yang jarang visit, kamar yang kotor dan sempit, ransum makanan yang tidak enak, dan keharusan berbagi ruangan dengan empat pasien sekaligus.
"...Tiap malam, anakku tak bisa tidur karena mendengar suara batuk, muntahan, dan erangan pasien di kanan-kirinya. Iya kan, Nak?" Laurensius membelai-belai kepala Wilfran.
Mendengar kisahnya, Calvin dan Revan bersimpati. Di balik kemewahan yang mereka nikmati, ada banyak orang tak beruntung yang harus meraskan pelayanan kesehatan berkualitas rendah.
Tergerak hati Calvin untuk masuk ke sal tempat Wilfran dan berinteraksi dengan pasien lainnya. Revan sempat ragu-ragu. Tidakkah terlalu riskan? Namun Calvin berkeras. Tak tega, Revan pun mendorong kursi roda Calvin ke dalam ruang perawatan kelas 3.
Apa yang dikatakan ayah Wilfran benar. Lantai dikotori sisa darah, dahak, dan plester. Seorang suster yang meletakkan mangkuk ke samping ranjang pasien memasang wajah dingin. Campuran aroma obat-obatan, darah, dan pakaian kotor menerpa indera penciuman. Sangat jauh berbeda dengan mewahnya ruang rawat Calvin.