Mohon tunggu...
Latifah Maurinta
Latifah Maurinta Mohon Tunggu... Novelis - Penulis Novel

Nominee best fiction Kompasiana Awards 2019. 9 September 1997. Novel, modeling, music, medical, and psychology. Penyuka green tea dan white lily. Contact: l.maurinta.wigati@gmail.com Twitter: @Maurinta

Selanjutnya

Tutup

Cerpen

[Melodi Silvi 2] Saya Muslim Kulit Putih, Maukah Memeluk Saya?

17 Juli 2018   05:42 Diperbarui: 17 Juli 2018   06:25 990
+
Laporkan Konten
Laporkan Akun
Kompasiana adalah platform blog. Konten ini menjadi tanggung jawab bloger dan tidak mewakili pandangan redaksi Kompas.
Lihat foto
Cerpen. Sumber ilustrasi: Unsplash

"Kami hanya menolong anak Anda. Tadi Wilfran jatuh dan terluka." jelas Revan dan Calvin hampir bersamaan.

Si lelaki berwajah persegi ingin marah lagi. Namun disela suara lembut anak lelakinya yang kini berpindah tangan ke pangkuan Calvin.

"Benar kok, Pap. Om-Om ganteng ini yang bantu Wilfran."

Ketegangan di wajah itu terurai. Ia tersenyum tipis.

"Terima kasih. Maaf, tadi saya sudah mencurigai kalian."

Ketiganya berkenalan. Lelaki berwajah persegi itu bernama Laurensius, ayah Wilfran. Ia seorang Koster gereja. Saat itulah tak sengaja Laurensius melihat kalung tasbih di leher Revan. Benda mungil keperakan yang sama melingkar pula di pergelangan tangan Calvin.

Sesaat Laurensius paham. Meski demikian, ia tak lagi mencurigai Calvin dan Revan. Kini dia justru bersemangat menceritakan buruknya pelayanan kelas 3. Suster yang ketus, dokter yang jarang visit, kamar yang kotor dan sempit, ransum makanan yang tidak enak, dan keharusan berbagi ruangan dengan empat pasien sekaligus.

"...Tiap malam, anakku tak bisa tidur karena mendengar suara batuk, muntahan, dan erangan pasien di kanan-kirinya. Iya kan, Nak?" Laurensius membelai-belai kepala Wilfran.

Mendengar kisahnya, Calvin dan Revan bersimpati. Di balik kemewahan yang mereka nikmati, ada banyak orang tak beruntung yang harus meraskan pelayanan kesehatan berkualitas rendah.

Tergerak hati Calvin untuk masuk ke sal tempat Wilfran dan berinteraksi dengan pasien lainnya. Revan sempat ragu-ragu. Tidakkah terlalu riskan? Namun Calvin berkeras. Tak tega, Revan pun mendorong kursi roda Calvin ke dalam ruang perawatan kelas 3.

Apa yang dikatakan ayah Wilfran benar. Lantai dikotori sisa darah, dahak, dan plester. Seorang suster yang meletakkan mangkuk ke samping ranjang pasien memasang wajah dingin. Campuran aroma obat-obatan, darah, dan pakaian kotor menerpa indera penciuman. Sangat jauh berbeda dengan mewahnya ruang rawat Calvin.

HALAMAN :
  1. 1
  2. 2
  3. 3
  4. 4
  5. 5
  6. 6
  7. 7
  8. 8
Mohon tunggu...

Lihat Konten Cerpen Selengkapnya
Lihat Cerpen Selengkapnya
Beri Komentar
Berkomentarlah secara bijaksana dan bertanggung jawab. Komentar sepenuhnya menjadi tanggung jawab komentator seperti diatur dalam UU ITE

Belum ada komentar. Jadilah yang pertama untuk memberikan komentar!
LAPORKAN KONTEN
Alasan
Laporkan Konten
Laporkan Akun