Wajah-wajah kesakitan menyambut Calvin dan Revan. Pria-wanita berkulit hitam dan berambut keriting menatap mereka dengan tertarik.
"Ruangan ini unik. Semua pasiennya jemaat gereja saya." Laurensius berbisik senang.
Calvin dan Revan menyapa pasien-pasien kelas 3 itu hangat. Berkenalan dengan mereka, memberikan senyum tulus untuk mereka, dan mendengarkan keluhan mereka. Di ruangan berbau obat dan darah itu, pasien kelas 3 dan VIP bersatu. Muslim kulit putih melebur dengan orang-orang yang berbeda etnis dan keyakinan. Dua warna kulit menyatu di satu ruangan. Empati mengalir setulus hati. Kasih menghangatkan hati yang kesepian dan kesakitan.
Seorang pria tua memegang erat tangan Revan sambil mengucapkan terima kasih. Kunjungan pria setampan dan seistimewa Calvin dan Revan ternyata sangat berarti baginya. Perempuan berkulit hitam dengan kalung salib di lehernya menangis tersedu di pelukan Calvin setelah pria oriental itu mendengarkan ceritanya dan berjanji akan membantu menyelesaikan masalahnya.
Para pasien kelas 3 sangat wellcome pada dua Muslim tampan itu. Tak ada kecurigaan, stereotip, prasangka, dan penolakan. Hanya ada penerimaan dan kasih yang tulus.
Bahagianya Calvin dan Revan. Mereka bisa diterima tanpa dilekati stereotip dan prasangka.
** Â Â Â