Mohon tunggu...
Latifah Maurinta
Latifah Maurinta Mohon Tunggu... Novelis - Penulis Novel

Nominee best fiction Kompasiana Awards 2019. 9 September 1997. Novel, modeling, music, medical, and psychology. Penyuka green tea dan white lily. Contact: l.maurinta.wigati@gmail.com Twitter: @Maurinta

Selanjutnya

Tutup

Cerpen Pilihan

[Spesial] Mata Pengganti, Pembuka Hati: Rumah Kedua

6 Maret 2018   05:53 Diperbarui: 6 Maret 2018   05:59 896
+
Laporkan Konten
Laporkan Akun
Kompasiana adalah platform blog. Konten ini menjadi tanggung jawab bloger dan tidak mewakili pandangan redaksi Kompas.
Lihat foto
Ilustrasi: Shutterstock

Ia terpaku, seakan tak mempercayai penglihatannya. Ekspresi ketakutan terlintas di wajahnya.

"Ya Tuhan..."

Mengapa ada banyak bercak darah di karpet? Apa yang terjadi? Kamar tidur mewah bernuansa off white itu kosong. Sempurna kosong. Kemana perginya pemiliknya?

Tidak, ini tidak mungkin. Calvin tidak boleh dibiarkan pergi sendirian. Ia pasti meninggalkan rumah, Adica tahu itu. Tapi kemana?

Suaranya sedikit bergetar memanggil adik perempuannya. Getar kekhawatiran yang terdengar jelas. Syifa buru-buru naik ke lantai dua. Menghampiri Adica penuh tanya.

"Ada apa...astaghfirullah al-azhim." Syifa mendesah, kaget luar biasa melihat banyaknya noda darah.

"Calvin pasti pergi dari rumah. Ayo kita cari dia. Dia tak boleh dibiarkan sendirian."

Sepasang kakak-beradik yang telah terlatih untuk sabar dan pengertian itu berlari menuruni tangga. Tangan Syifa gemetar hebat. Waswas membayangkan kemungkinan buruk yang terjadi pada Calvin. Dimanakah dirinya kini? Tidakkah ia kesakitan atau memerlukan bantuan?

Adica dan Syifa tak pernah mengeluh memiliki kakak yang istimewa. Istimewa karena kanker ginjal di tubuhnya. Semuanya berubah sejak dua tahun lalu.

Awalnya mereka pikir infksi ginjal. Namun ternyata bukan. Sel-sel kanker mengganas di ginjal Calvin. Merampas separuh hidupnya, membawa pergi setengah jiwanya.

Tiba di ruang depan, mereka berpapasan dengan Tuan Effendi dan Nyonya Roselina. Keduanya baru tiba. Melihat raut panik anak-anak mereka, sebuah tanya terlontar.

HALAMAN :
  1. 1
  2. 2
  3. 3
  4. 4
  5. 5
  6. 6
  7. 7
  8. 8
  9. 9
  10. 10
  11. 11
Mohon tunggu...

Lihat Konten Cerpen Selengkapnya
Lihat Cerpen Selengkapnya
Beri Komentar
Berkomentarlah secara bijaksana dan bertanggung jawab. Komentar sepenuhnya menjadi tanggung jawab komentator seperti diatur dalam UU ITE

Belum ada komentar. Jadilah yang pertama untuk memberikan komentar!
LAPORKAN KONTEN
Alasan
Laporkan Konten
Laporkan Akun