Ia terpaku, seakan tak mempercayai penglihatannya. Ekspresi ketakutan terlintas di wajahnya.
"Ya Tuhan..."
Mengapa ada banyak bercak darah di karpet? Apa yang terjadi? Kamar tidur mewah bernuansa off white itu kosong. Sempurna kosong. Kemana perginya pemiliknya?
Tidak, ini tidak mungkin. Calvin tidak boleh dibiarkan pergi sendirian. Ia pasti meninggalkan rumah, Adica tahu itu. Tapi kemana?
Suaranya sedikit bergetar memanggil adik perempuannya. Getar kekhawatiran yang terdengar jelas. Syifa buru-buru naik ke lantai dua. Menghampiri Adica penuh tanya.
"Ada apa...astaghfirullah al-azhim." Syifa mendesah, kaget luar biasa melihat banyaknya noda darah.
"Calvin pasti pergi dari rumah. Ayo kita cari dia. Dia tak boleh dibiarkan sendirian."
Sepasang kakak-beradik yang telah terlatih untuk sabar dan pengertian itu berlari menuruni tangga. Tangan Syifa gemetar hebat. Waswas membayangkan kemungkinan buruk yang terjadi pada Calvin. Dimanakah dirinya kini? Tidakkah ia kesakitan atau memerlukan bantuan?
Adica dan Syifa tak pernah mengeluh memiliki kakak yang istimewa. Istimewa karena kanker ginjal di tubuhnya. Semuanya berubah sejak dua tahun lalu.
Awalnya mereka pikir infksi ginjal. Namun ternyata bukan. Sel-sel kanker mengganas di ginjal Calvin. Merampas separuh hidupnya, membawa pergi setengah jiwanya.
Tiba di ruang depan, mereka berpapasan dengan Tuan Effendi dan Nyonya Roselina. Keduanya baru tiba. Melihat raut panik anak-anak mereka, sebuah tanya terlontar.