"Sudah kuduga, dia pasti di sini. Terima kasih telah menjaga anakku, Tian." ucap Tuan Effendi. Tian, panggilan masa kecil Dokter Rustian.
"Kalau kamu ingin berterima kaasih, luangkanlah waktu untuknya, Effendi. Penuhi tanggung jawabmu sebagai ayah. Anak tak hanya butuh materi dan masa depan yang cerah, tapi dia juga memerlukan waktu dan kehadiran orang tuanya."
Kata-kata Dokter Rustian seperti paku tajam yang menghantam hati Tuan Effendi. Tajam, reflektif, namun sangat tepat.
"Aku juga bersalah, Tian. Maaf..." desah Nyonya Roselina.
Tanpa kata lagi, mereka beranjak ke lantai atas. Sebelum menaiki tangga, mereka melewati ruang makan. Sekilas tertatap oleh mereka setengah porsi makanan yang belum habis di meja makan cinamon glaze.
"Calvin beberapa kali muntah saat makan malam tadi. Bahkan ia nyaris tak bisa menelan obatnya dan memuntahkannya lagi," jelas Dokter Rustian seolah bisa membaca pikiran mereka.
"Ya Allah..."
Adica, Syifa, Tuan Effendi, dan Nyonya Roselina bertukar pandang sedih. Harusnya merekalah yang menemani, harusnya merekalah yang merawat dan menjaga Calvin. Setelah apa yang dilakukan Calvin untuk mereka.
Di perpustakaan kecil yang merangkap ruang piano, Calvin tertidur. Ia terlelap dalam posisi duduk di kursi. Calvin terlelap sambil memeluk sebuah buku.
Tangan kanan Syifa mendarat lembut di kening Calvin. Terasa panas. Menangkap sorot ketakutan di mata adiknya, Adica ikut memeriksa.
"Dia demam,"