"Kalian kenapa? Dan dimana Calvin?"
Mendengar itu, Adica bertolak pinggang. Tidak santun sebenarnya, mengingat ini di depan orang yang lebih tua. Namun ia tak peduli.
"Masih bertanya tentang Calvin? Terlambat," kata Adica dingin.
"Kak, sudah. Ayo kita pergi." Syifa buru-buru menenangkan, mencengkeram erat lengan kakaknya.
Atmosfer berubah tegang. Ekspresi kemarahan menghiasi wajah Tuan Effendi. Nyonya Roselina menunduk. Antara tertekan dan menyesal. Syiffa menarik-narik tangan Adica, kalut.
"Ayolah, Kak Calvin jauh lebih penting." pinta Syifa.
"Penting bagi kita, tidak penting bagi mereka." tandas Adica.
Ini kenyataan. Kenyataan yang sangat pahit. Klise sebenarnya, ketika orang tua jauh lebih mementingkan bisnis dibandingkan anak-anak. Mereka tak punya waktu untuk keluarga. Satu anak berontak, satu anak pasrah, satu anak tulus dan ikhlas.
"Adica, dimana Calvin?" ulang Tuan Effendi.
"Bukan urusanmu."
Setelah berkata begitu, Adica berjalan pergi bersama Syifa. Tuan Effendi terpaku. Marah tak mampu. Diam dan menyesal, itu dia.