"Tidak usah. Saya perbaiki sendiri saja. Benar, tidak apa-apa."
Sungguh dokter yang baik hati. Di rumah sakit ia pintar. Di rumah ia fatherly. Di luar rumah ia pengertian.
Dokter Rustian menatap Calvin dari atas ke bawah. Mengamati jas hitamnya yang sedikit bernoda darah, memperhatikan wajah piasnya, menatapi sepasang mata sipitnya yang memancarkan kesedihan.
"Kamu kenapa, Nak? Seharusnya kamu tidak boleh banyak beraktivitas. Ingat hasil pemeriksaan yang terakhir?"
Calvin menundukkan wajah. "Maaf..."
"Luar biasa, sudah tiga kali kamu minta maaf. Hanya orang baik yang berani mengucap kata maaf walau sebenarnya ia tidak salah."
Ada luka di sana. Ada sedih di sana. Ada pedih dan perih yang sulit terlukiskan. Bunyi klakson dan ramai suara memprotes menyadarkan mereka. Mengobrol di tengah jalan memang bisa mengganggu orang lain.
** Â Â Â
Rumah besar bertingkat dua dan bercat biru laut itu seperti rumah kedua. Calvin nyaman di sana. Pemilik rumah itu pun telah dianggapnya sebagai ayah kedua.
Rustian Ansori dan Calvin Wan bukan sekadar dokter dan pasien. Melainkan sudah seperti ayah dan anak. Seperti ada ikatan batin di antara mereka. Dokter Rustian mencintai Calvin seperti ia mencintai Nanda, putri tunggalnya. Sebaliknya, Calvin menyayangi Dokter Rustian seperti ayah kandungnya sendiri. Rumah kedua ini, juga Dokter Rustian, sering dijadikannya tempat pelarian di kala gundah.
"Dokter, boleh saya shalat di sini?" Calvin meminta izin, sesaat nampak ragu.