"Dalam agamamu...apa yang disatukan Tuhan, tak bisa dipisahkan oleh manusia. Kira-kira begitu, kan? Maaf kalau aku salah." Rossie berujar setelah terdiam sejenak.
"That's right. Nah, sekarang balik lagi ke diri kamu sendiri. Masihkah kamu mencintai Calvin? Apakah kamu ingin mempertahankan rumah tanggamu dengannya?"
Pertanyaan sulit. Jangan tanyakan tentang cinta pada Rossie. Hati wanita Sunda-Jerman itu mati rasa. Meski demikian, tak dapat dipungkiri di hatinya ada sepercik cinta untuk Calvin Wan. Betapa pun seringnya Calvin mengecewakannya, masih ada sisa cinta.
Bunyi reminder di ponselnya menyelamatkan Rossie. Reinhard tersadar. Buru-buru menghabiskan makanannya.
"Time to work," ucap Rossie pelan. Bangkit berdiri, membereskan sisa-sisa makanannya.
"Ok. Btw, kamu sudah shalat?"
Mendengar pertanyaan itu, Rossie kembali tersenyum. Hati terasa sejuk saat pria pelukis masa lalunya mengingatkannya untuk beribadah. Padahal Reinhard Non-Muslim.
"Sudah. Aku selalu tepat waktu. Shalat di awal waktu lebih besar pahalanya." sahut Rossie cerah.
"Syukurlah. Ayo, kuantar kamu."
** Â Â Â
Hanya sebentar. Ya, hanya sebentar saja Calvin bisa tidur. Selebihnya ia terbangun lagi karena kesakitan. Selimut tebal di tubuhnya ia rapatkan. Kepalanya sangat sakit. Tulang-tulangnya seakan terlepas satu per satu. Sakit ini membuatnya sungguh tidak berdaya.