Jeda sejenak. Sepasang mata sipit Calvin bertemu sepasang mata hazel Rossie. Menantinya, dengan sabar.
"...Kita gunakan rumah ini untuk bisnis dayCare."
"DayCare?" ulang Calvin.
"Iya. Kenapa? Kamu keberatan? Kalau keberatan, ya sudah. Kita cerai saja."
"Bukan, bukan. Sama sekali bukan...mengapa harus dayCare? Kalau kamu ingin punya anak, kalau kamu ingin merasakan bagaimana mengurus anak, kita bisa adopsi."
Rossie tertawa sinis. "Sekalian saja rumah ini jadi panti asuhan. Kan aku bilang, aku tidak hanya ingin tinggal berdua dengan pria seperti kamu di rumah seluas ini. Aku ingin rumah kita ramai dipenuhi anak-anak. Rumah kita selalu diisi tawa ceria banyak anak. Kalau kita buka kindergarten, anak-anak takkan full time stay di sini. Sebaliknya, kalau kita buka dayCare, rumah kita akan ramai oleh anak-anak sepanjang hari. Itu yang kuinginkan."
"I see. Jika itu yang kamu inginkan, aku setuju. Apa pun akan kulakukan asal kamu bahagia, Rossie."
"Bagus. Kita tak usah mengambil keuntungan dari bisnis ini. Anggap saja sebagai project sosial. Toh lini bisnis kita sudah banyak."
Calvin mengerti arah pemikiran istrinya. Ide menarik dan brilian. Menjadikan rumah mereka sebagai dayCare. Socialpreneur, profitnya bukan uang. Tetapi pahala berlimpah dari Allah.
"Iya, Rossie. Bagaimana kalau profit dari bisnis dayCare kita sumbangkan ke yayasan anak-anak penderita kanker?" usul Calvin.
"Good idea. Ternyata pemikiran kita sama." Rossie tersenyum. Senyuman tipis, sangat tipis. Namun senyuman itu untuk Calvin. Hanya untuknya.