"Oh kasihku ini ini laguku...hanya untuk dirimu. Tanda cintaku..."
Alunan lagu mengiringi penampilan pria-pria berwajah setampan Dewa Yunani itu. Langkah mereka cool, tegap, dan maskulin. Membawakan setelan formal sebuah brand ternama yang menjadi trend tahun ini. Para tamu undangan terpesona. Ingin sekali bertepuk tangan, namun belum saatnya. Fashion show ini menjadi acara eksklusif yang penuh aturan. Termasuk aturan untuk bertepuk tangan.
Siapa bilang fashion show hanya untuk model wanita? Model pria pun berhak menguasai catwalk dengan langkah dan gerakan sempurna mereka. Bukankah banyak model-model pria bertubuh semampai, berwajah menawan, berbakat di atas catwalk, namun tetap cool dan tidak menunjukkan tanda-tanda orientasi seksual yang menyimpang? Meski menjadi model, mereka tetaplah pria sejati. Pria tulen dengan segala kelebihan dan kekurangannya. Percayalah, anggapan bahwa pria yang terjun di dunia model kelak akan kehilangan kegagahannya sama sekali tidak benar.
Acara fashion show malam ini menampilkan tiga model pria dengan ketampanan di atas rata-rata. Si model pertama, melangkah dengan wajah dingin namun penuh pesona dan mengundang rasa penasaran. Model dengan tipe wajah perpaduan Kaukasoid dan Mongoloid yang memikat. Disusul hadirnya si model kedua. Kulit coklat nan eksotis yang dimilikinya menjadikan ia model berparas unik. Wajahnya sangat Indonesia. Pria Indonesia memang tampan dan eksotik. Terakhir, model ketiga itu, ia baru saja muncul dengan gerakan koreografi paling bagus. Ia paling tinggi di antara para model lainnya. Kulit putih yang berpadu dengan wajah oriental dan sepasang mata sipit. Rona ketampanan khas Chinese yang merebut hati para tamu wanita dalam sekejap. Tak salah lagi, dialah model paling tampan. Berbeda dengan kedua rekannya yang memasang wajah dingin, model satu ini justru melempar senyum memesona. Senyuman terindah dari seorang model pria yang tulus menghibur serta menampilkan keindahan di atas catwalk.
Catwalk ini seakan miliknya. Langkah si model pria berparas oriental itu begitu gagah dan percaya diri. Rileks saja melangkah dan melakukan gerakan-gerakan koreografi. Dibandingkan dua temannya, model tertampan ini gerakan koreografinya paling sempurna. Tak pernah melakukan kesalahan sepanjang sesi penampilan.
Keluwesan dan pesonanya menuai tatapan kagum audience. Sebagian besar berbisik-bisik memujinya. Ada yang mengenal model tampan itu, ada pula yang belum mengenalnya.
"Ya ampun...siapa sih dia? Ganteng banget. Kayaknya dia paling tinggi di antara yang lain." bisik seorang wanita bergaun silver.
"Kamu nggak tahu? Kuper banget. Ngakunya fashion blogger, malah nggak kenal dia. Itu lho, model pria yang baru dapat award dari majalah fashion bulan lalu. Majalah itu menobatkan dia sebagai model pria dengan dagu terindah." Teman duduknya tersenyum penuh arti.
"Oh...aku ingat! Wait, wait. Dia Calvin, kan? Aduh, Calvin siapa namanya?" Si wanita bergaun silver menepuk dahinya.
"Calvin Wan."
"Nah itu, Calvin Wan. Btw, katanya dia bukan hanya model ya? Sebenarnya, dia general manager di perusahaan milik keluarganya. Selain itu, dia juga blogger. Keren abis."
"Yups. Bener banget. Multitallented ya. Mahir modeling, pintar bisnis, bisa nulis lagi. Kurang apa coba? Sayang dia udah punya istri."
Di belakang wanita-wanita itu, terlihat seorang wanita paruh baya yang masih terlihat cantik tersenyum kecil. Sadar betul jika anak sulungnya tengah dijadikan objek pembicaraan.
"Calvin Sayang...kamu selalu membuat Mama bangga." bisiknya.
"Papamu pasti bangga juga."
Sayangnya, keterpesonaan mereka tak berlangsung lama. Sesuatu yang buruk telah terjadi. Di atas catwalk, Calvin menghentikan gerakannya. Bukan karena lupa, melainkan karena rasa sakit. Punggung dan perut bagian bawahnya terasa amat sakit. Sekuat apa pun Calvin mencoba, tetap saja ia tak bisa bergerak. Sakit ini serasa melumpuhkan.
"Calvin, are you ok?" tanya Albert, model berparas Kaukasoid itu cemas.
"Hei...ada yang salah? Kenapa Calvin kita yang biasanya tangguh ini?" timpal Elby, model berkulit eksotik.
"I'm ok..." Calvin susah payah menjawab pertanyaan Albert dan Elby.
Ia memaksakan diri menggerakkan tubuhnya. Di tengah gerakan koreografinya, tetiba Calvin terjatuh pingsan. Darah segar mengalir dari hidungnya.
Ruangan berbentuk oval itu gaduh seketika. Kepanikan menyusul, menyergap jiwa-jiwa yang awalnya dirasuki rasa kagum.
** Â Â Â
Ruangan serbaputih itu begitu mencekam. Calvin tertunduk dalam, mencermati kata-kata Dokter Rustian. Bersiap menerima vonis terburuk. Vonis, betapa bencinya ia pada kata itu. Seakan vonis adalah skakmat. Langkah terakhir menuju pelukan kematian.
"Hasil pemeriksaan menyatakan..."
Keheningan menggantung berat dan menyakitkan. Sesaat Calvin mulai kalut dan tak sabar. Mengapa Dokter Rustian harus menahan kalimatnya?
"Hipernefroma, atau istilah lainnya Renal Cell carcinoma. Kanker sel ginjal. Kanker ini tumbuh di epitel tubulus proksimal, saluran kecil yang berfungsi menyaring darah dan membuang sisa metabolisme. Jenisnya Papillary Renal Cell carcinoma."
Jeda sejenak saat Dokter Rustian menghela napas. Lalu ia melanjutkan kalimatnya.
"Sudah stadium lanjut. Umumnya kanker ginjal tidak menunjukkan gejala di awal. Penyakit ini tergolong silent killer."
Calvin terhenyak. Dunianya runtuh seketika. Tidak, semua ini tidak mungkin. Namun beginilah kenyataannya. Dirinya, Calvin Wan, terkena kanker. Calvin Wan yang dikenal tangguh, tegar, konsisten, sukses, berbakat, dan tidak punya riwayat penyakit serius sebelumnya, secara tiba-tiba didiagnosis kanker stadium lanjut. Begitu mudah Allah membalikkan keadaan.
"Innalillahi wa inna ilaihi raji'un..." lirih Calvin, wajahnya menunjukkan kepasrahan total pada takdir Allah.
"Yang sabar...tetap tawakal. Allah menurunkan penyakit beserta obatnya." kata Dokter Rustian menguatkan.
"Apa saya masih punya harapan untuk sembuh?" tanya Calvin perlahan.
"Tentu saja. Asalkan kamu disiplin menjalani terapi. Dalam kondisimu sekarang, sudah tak memungkinkan untuk melakukan pembedahan. Alternatifnya adalah terapi radiasi. Embolisasi arteri juga recomended. Gunanya untuk menghalangi suplai darah ke daerah tumor itu berada. Cukup masukkan kateter dengan dipandu sinar X yang akan mengarah ke ginjal. Substan penyebab emboli arteri dan pembunuh sel kanker dapat disuntikkan. Lalu, ada juga imunoterapi. Kamu bisa mengonsumsi obat-obatan yang merangsang sistem imun untuk menyerang sel kanker. Asalkan rutin menjalani terapi, diiringi doa dan ikhtiar, kamu akan..."
"Jika semua terapi itu gagal," sela Calvin.
"Berapa lama lagi umur saya?"
Rupanya Calvin sama saja dengan pasien lainnya, pikir Dokter Rustian resah. Mengapa angka-angka itu penting bagi mereka? Tidak adakah pertanyaan lain yang lebih optimis?
"Umur adalah rahasia Tuhan, Calvin." Dokter Rustian mengingatkan dengan bijak.
"Katakan saja, Dokter. Ini penting bagi saya."
"Dengan kemungkinan semua terapi penyembuhan gagal...melihat kondisimu sekarang...kemungkinan kamu hanya bisa bertahan selama satu tahun."
Setahun, hanya setahun. Calvin tertegun mendengarnya. Dikumpulkannya kembali sisa-sisa ketegaran itu. Sedikit sekali sisa waktu yang dimilikinya. Waktu satu tahun yang tersisa tak boleh ia sia-siakan.
** Â Â Â Â
Setengah empat pagi. Masih cukup waktu untuk menunaikan shalat Tahajud. Mengabaikan sakitnya, Calvin turun dari tempat tidur. Mengambil air wudhu. Lalu memulai shalat.
Calvin berdoa dan terus berdoa. Mengharap petunjuk Allah. Ia sama sekali tidak mengharap kesembuhan. Hanya petunjuk yang dicarinya.
Derit pintu dan derap langkah kaki tak membuyarkan konsentrasi Calvin. Kedua matanya terpejam rapat, khusyuk dengan doa-doa dan permohonannya. Hatinya tak henti melantunkan zikir. Ia terus dan terus mendekatkan diri pada Allah.
Bisikan-bisikan kecil terdengar di sekelilingnya. Tak salah lagi, itu pasti dua sahabat dan keluarganya. Mereka telah kembali.
"Calvin, kami khawatir padamu." kata Elby setelah Calvin menyelesaikan Tahajudnya.
"No worries." balas Calvin singkat. Pelan-pelan bangkit berdiri dan melipat sajadahnya. Elby bergegas membantu tanpa diminta. Melipat rapi sajadah itu, kemudian menuntun Calvin kembali ke ranjang.
"Mama sudah tahu semuanya..." gumam Nyonya Roselina, matanya berkaca-kaca. Disambuti anggukan Adica dan Syifa, kedua adik Calvin.
"Kakak harus kuat...Kakak pasti sembuh. Allah bersama Kakak." Syifa terisak tertahan. Meraih tangan Calvin, lalu menggenggamnya.
"Be strong, Calvin." Adica berujar, sejak dulu ia tak pernah memanggil Calvin dengan sebutan 'Kakak'. Hanya Adica yang tahu pasti apa alasannya. Bukan karena tidak menghargai Calvin, justru karena alasan lain.
"Kalian tidak perlu sedih. Aku baik-baik saja." Calvin berkata menenangkan. Bergantian menatap wajah-wajah sendu di depannya.
"Siapa yang tidak sedih saat tahu orang yang disayanginya sakit keras?" komplain Nyonya Roselina.
"Mama, aku akan baik-baik saja. Aku sudah ikhlas. Mungkin ini sudah takdirku."
Ucapan lembut Calvin sukses membuat Nyonya Roselina terdiam. Dipandanginya wajah tampan putra pertamanya. Wajah yang menampakkan ketegaran dan kekuatan. Calvin kuat, Calvin mampu melewati semua ini. Nyonya Roselina berusaha menanamkan kepercayaan itu di hatinya.
"Pokoknya, sekarang kamu fokus dulu dengan kesehatanmu. Rutin menjalani terapi. Sekalian saja berobat ke luar negeri. Kalau perlu, kamu ambil cuti panjang dari perusahaan." saran Elby.
Mendengar saran Elby, sesuatu mengusik hati Calvin. Mengambil cuti panjang? Layak dicoba.
"Ya, aku akan ambil cuti." jawab Calvin akhirnya. Ditingkahi ekspresi kelegaan dari semua orang di kanan-kirinya.
"Bukan untuk terapi, melainkan untuk tujuan lain."
Raut kelegaan di wajah mereka berganti tanda tanya. Adica meletakkan kedua tangan di pinggangnya, bersiap marah. Tak habis pikir dengan kemauan kakaknya. Albert dan Elby berpandangan. Nyonya Roselina waswas.
"Lalu...untuk apa, Kak?" Syifa bertanya, alisnya terangkat.
"Sudah waktunya aku mencari mata untuk istriku."
Ruang pemahaman mulai terbuka. Mereka sadar, apa yang dimaksud 'mata' oleh Calvin. Tentunya bukan mata dalam arti harfiah, melainkan mata dalam arti dan bentuk yang lain.
"Oh Kak Calvin, jangan..." cegah Syifa, wajahnya berubah panik.
"Dari pada Kakak memikirkan itu, lebih baik fokuslah untuk mencari kesembuhan. Niatkan dalam hati sambil melakukan pengobatan. Kakak pasti bisa bertahan."
Calvin menghela napas berat. Ia berpikir jauh ke depan. Logikanya ia gunakan untuk berpikiran realistis. Sangat kecil kemungkinan untuk sembuh total. Umurnya takkan lama lagi. Ia harus mengantisipasi kemungkinan terburuk. Riskan ia pergi tanpa memberikan suatu kepastian untuk Silvi Mauriska, istri cantiknya yang punya keadaan berbeda.
"Jika aku meninggal," Calvin mulai menjelaskan, berusaha menahan pedihnya kenyataan yang merobek hatinya. "Siapa yang akan menjadi mata untuk Silvi?"
Sungguh, kata-kata itu menghanyutkan mereka dalam kesedihan. Meski sakit parah, Calvin tetap saja memikirkan orang lain. Bukannya memikirkan diri sendiri, ia malah memprioritaskan orang lain.
"Siapa juga yang akan menjaga Syahrena, putriku dan Silvi?"
"Calvin, please. Jangan lakukan itu. Kamu pasti sembuh!" kilah Albert.
"Tidak. Aku harus mencari mata untuk Silvi. Mencari ayah pengganti untuk Syahrena." Calvin berkeras dengan keinginannya.
Kristal-kristal bening jatuh membasahi pipi Syifa dan Nyonya Roselina. Albert menundukkan wajah. Elby tak tega memandang Calvin. Kemarahan di wajah Adica menghilang. Tergantikan kesedihan dan keharuan mendalam.
"Mama, Albert, Elby, Adica, dan Syifa. Tolong jangan beri tahu Silvi dan Syahrena tentang penyakitku." pinta Calvin.
"Kebahagiaan boleh dibagi-bagi, tapi kesedihan dan cobaan hidup terbesar cukup kurasakan sendiri."
** Â Â Â
Kapan lagi kutulis untukmu
Tulisan-tulisan indahku yang dulu
Pernah warnai dunia
Puisi terindahku hanya untukmu
Mungkinkah kau kan kembali lagi
Menemaniku menulis lagi
Kita arungi bersama
Puisi terindahku hanya untukmu (Andien-Puisi).
Wanita cantik berpostur mungil dan berkulit putih itu menari dan menyanyi. Berputar anggun, melakukan tarian indah. High heels setinggi dua belas senti di kakinya tak menghalangi gerakannya sedikit pun. Siapa sangka, jika penglihatan wanita ini tak begitu jelas. Ada sesuatu yang lain dalam dirinya.
Silvi Mauriska nama wanita itu. Alumni Universitas Parahyangan. Pernah menjadi ketua tim paduan suara mahasiswa. Sejak kecil, ia mempelajari modern dance. Beberapa kali diberi kesempatan menari dan menjadi tallent di beberapa televisi swasta. Sempat menjadi model beberapa brand lokal. Dipercaya pihak universitas untuk menjadi model dan mahasiswa inspiratif. Satu kali pernah masuk agency, namun akhirnya memutuskan keluar dan menjadi model freelance.
Setelah menikah, Silvi tetap menjadi model. Namun ia menjadi model untuk brand dan butik miliknya. Menurut Silvi, terasa ada kepuasan yang lebih besar. Lebih memuaskan dibanding menjadi model untuk brand milik orang lain.
Tak ada sesuatu yang terjadi karena kebetulan. Semua telah diatur dengan sempurna. Termasuk skenario hidup Silvi. Ia dinikahi model ternama, blogger, sekaligus pengusaha sukses bernama Calvin Wan. Sepasang suami-istri yang menekuni dunia modeling itu dikaruniai seorang putri cantik bernama Deatami Princessa Syahrena. Sejak berumur tiga tahun, Syahrena telah dilatih ballet dan mengikuti jejak Ayah-Bundanya.
Walau Silvi bukan model setenar Calvin, antusiasnya tetap menggelora. Ia ingin membuktikan bahwa wanita-wanita seperti dirinya bisa menekuni dunia modeling. Bidang apa pun terbuka untuk siapa pun yang senasib dengannya. Terjun di dunia modeling ia lakukan sebagai ajang pembuktian, ajang keberanian menembus keterbatasan.
Terkadang Silvi merasa pesimis. Wanita blasteran Sunda-Inggris itu merasa dirinya tidak cantik dan tidak tinggi. Namun rasa pesimistis itu dilawannya. Ia menampakkan seluruh aura dan menjadi dirinya sendiri.
Musik berhenti. Silvi pun menghentikan tariannya. Ia berdiri sejenak, merasakan kebahagiaan mengaliri tubuhnya. Bahagia yang berpadu dengan rindu. Bahagia karena ia bisa menari lagi. Rindu pada suami tercintanya, belahan jiwanya. Sejak acara fashion show itu, Calvin belum juga kembali. Silvi tak hadir karena harus menjaga Syahrena yang sedang sakit. Calvin menunda kepulangannya dengan alasan ingin berlama-lama melepas rindu dengan keluarga. Sebagai istri yang baik, Silvi tak melarang. Ia hanya berpesan agar Calvin berhati-hati.
"Calvin...I miss you." Silvi berbisik penuh perasaan.
"Cepatlah kembali."
Sejurus kemudian, Silvi menyalakan laptop. Membaca artikel terbaru yang ditulis Calvin. Terakhir ia menulis tentang menemukan sesuatu yang unik sebelum memulai wirausaha. Benar-benar topik yang sangat khas Calvin. Silvi tersenyum kecil. Itulah yang dilakukannya tiap kali merindukan Calvin: membaca ulang artikel-artikelnya.
"Bundaaa...Kermit jatuh ke kolam renang!"
Suara kecil nan tinggi itu membuyarkan konsentrasi Silvi. Refleks ia bergegas meninggalkan studio kecil di sudut rumah mewahnya, lalu mendekati Syahrena. Putri tunggalnya itu menutup wajah dengan jari-jarinya. Ekspresi ketakutan terlihat jelas.
** Â Â Â
https://www.youtube.com/watch?v=vjqzigiIOvg
Baca konten-konten menarik Kompasiana langsung dari smartphone kamu. Follow channel WhatsApp Kompasiana sekarang di sini: https://whatsapp.com/channel/0029VaYjYaL4Spk7WflFYJ2H