"Saingan apa?"
"Saingan dalam hal ketampanan. Aku sudah insaf, sudah sadar. Kalau Calvin...jauh lebih tampan dariku."
Mereka tertawa. Semua orang berkata begitu. Tuan Calvin memang tampan. Belum lagi ia dikaruniai otak cerdas dan hati yang baik. Siapa yang tak suka?
** Â Â
Para pegawai cafe surprised melihat atasan mereka. Langsung saja beramai-ramai mendekati Tuan Calvin dan menanyakan kondisinya. Hal ini sudah sering terjadi. Tuan Calvin tak pernah memberi tahu siapa-siapa jika dirinya sakit. Mereka tahu sendiri. Ia tak ingin menyusahkan orang lain.
Wahyu dan Nyonya Calisa bergantian mendorong kursi roda Tuan Calvin. Reinhart dan Clara berjalan di sisi mereka. Memperhatikan gerakan cepat dua orang waiters yang sibuk menyiapkan beberapa porsi makanan untuk dibagikan.
Selesai mengambil makanan dari cafe, mereka bergegas turun ke jalan. Membagikan makanan pada orang-orang tidak mampu. Tuan Calvin berkeras ikut membagikannya. Langsung saja kehadirannya menjadi pusat perhatian. Seorang pria tampan berwajah oriental di atas kursi roda membagi-bagikan makanan gratis pada kaum duafa. Pemandangan langka dan menarik. Dalam keadaan sakit, Tuan Calvin masih saja memikirkan orang lain. Motivasinya untuk beramal sangat tinggi.
"Hatur nuhun kasep...bageur. Nanti Gusti Allah yang balas." kata seorang pria tua penyapu jalan penuh terima kasih. Menepuk pundak Tuan Calvin.
"Kunaon, kasep? Sakit?" lanjut pria tua itu, menatap Tuan Calvin dan kursi rodanya.
Tuan Calvin hanya bergumam mengiyakan. Ditingkahi tatapan berempati.
"Umrah...nya? Doa di tanah suci. Insya Allah terkabul."