Tak ada omelet, fruit loops, sereal, oatmeal, sandwich, nasi goreng, roti, atau menu sarapan lezat di rumah Syarif. Sarapan bukanlah hal yang mudah ia penuhi. Ia baru akan menikmati makan di pagi hari bila malam sebelumnya masih ada sisa makanan. Itu pun sangat jarang.
Praktis Syarif terbiasa pergi bekerja dalam keadaan lapar. Ia mulai melangkah menyusuri jalan. Mengumpulkan barang-barang bekas. Kebanyakan hanya botol dan bungkus makanan yang didapatnya.
"Pagi Muka Boros." Reza menyapanya seraya menepuk punggungnya dengan kuat.
Nyaris saja Syarif menjatuhkan barang-barang yang telah dikumpulkannya. "Jangan bikin kaget, Reza."
"Kamu serius banget. Nih sarapan dulu. Aku ada sedikit rezeki."
Reza menarik tangan Syarif ke sudut jalan. Mengajaknya menikmati seporsi makanan yang dibagi dua. Porsi kecil itu tetap membuat Syarif bersyukur.
"Kamu masih kepikiran si Calvin ya? Masa terus-terusan sedih?"
"Iyalah. Siapa ayah yang rela dipisahkan sama anak kandungnya?"
Pria kurus berkulit hitam dan bermata sayu itu menunduk. Mengusapkan tangannya yang kotor ke bajunya. Masih tercermin kesedihan dan keputusasaan di sudut wajahnya.
"Memang keterlaluan si Calvin itu. Mudah-mudahan dia cepat mati kena kanker." Reza memaki. Sejak mengetahui temannya dijauhkan dari putri kandungnya, Reza berhenti memanggil "Tuan Calvin". Ia lebih suka memakai nama saja.
"Sssttt...jangan bilang gitu. Gimana pun juga, Calvin ayahnya Clara. Dia ayah yang sangat baik."