Saat yang paling disukainya adalah saat rumahnya benar-benar sunyi. Sejak berumur enam tahun, ia sudah terbiasa tinggal sendirian di rumah. Jika kebanyakan anak lain takut ditinggalkan sendirian, ia justru senang. Sendirian membuatnya bebas melakukan dan memikirkan apa pun. Kesendirian membuatnya leluasa.
Seperti malam ini. Mamanya sedang mengikuti kegiatan rohani. Papanya pergi, sibuk dengan urusannya sendiri. Gadis bermata biru itu memanfaatkan kesendiriannya dengan menulis surat. Surat yang akan dikirimkannya untuk belahan jiwanya. Bukan sekedar surat, karena ia pun memberikan sesuatu untuk sang belahan jiwa di hari ulang tahunnya.
Kata demi kata ia tuliskan. Tak peduli tangannya tengah terluka. Sakit menusuk pergelangan tangannya tiap kali digerakkan. Darah menetes-netes ke atas kertas yang sedang ditulisnya. Otomatis kertas putih itu ternoda darah.
Si gadis terus menulis. Membiarkan alam sadar dan alam bawah sadarnya merangkai kata yang ingin ia ungkapkan. Ia hanya ingin belahan jiwanya memikirkan kata-katanya. Tentang cinta, keluarga, dan perhatian lebih untuk mereka.
“Albert, tegakah kamu meninggalkan keluargamu? Okey, kamu masih punya adik. Tapi adikmu juga sudah punya keluarga sendiri. Percayalah, orang tuamu sebenarnya membutuhkanmu. Tidakkah kamu ingat posisimu sebagai anak pertama? Haruskah kamu lari dari kenyataan? Kurasa, memberikan waktu dan perhatianmu untuk keluarga tak kalah mulianya. Apa kamu yakin akan membiarkan kedua orang tuamu hidup kekurangan? Tidakkah kamu ingin menaikkan derajat keluargamu dan menaikkan taraf hidup mereka? Memutus rantai kemiskinan dan mengubah nasib. Kemiskinan adalah nasib, kekayaan bisa dicari dengan doa dan usaha.”
Ia tertegun membaca tulisannya sendiri. Gadis bermata biru dan berambut panjang itu hanya berharap sang belahan jiwa akan memikirkan perkataannya baik-baik. Tak ada salahnya melihat permasalahan dari sudut pandang berbeda.
**
Surat bernoda darah itu dilipatnya. Tidak rapi, namun hanya inilah yang bisa dilakukannya. Tepat pada saat itu, hujan mengguyur deras. Angin menderu kencang, suhu udara spontan turun dengan drastis. Si gadis berpiyama biru menyukai hujan. Ia melangkah ke ruang tamu. Bersandar ke birai jendela. Menangkupkan tangan dengan posisi berdoa. Saat hujan adalah salah satu dari beberapa waktu mustajab untuk berdoa. Dipejamkannya mata, ia pun mulai berdoa. Memohon permintaannya pada Dzat Maha Kuasa dan Maha Penyayang yang memiliki tempat mulia di Arasy-Nya.
Bunyi pintu pagar yang terbuka memecah kekhusyukannya. Terdengar derap langkah berlari. Disusul pintu garasi dibanting. Mamanya masuk dengan terburu-buru. Bajunya basah kuyup.
“Mama pulang duluan,” ucapnya sesampai di ruang tamu.
“Kenapa?” tanya gadis itu datar.
“Karena si kecil sendirian di rumah.” Jawabnya penuh sayang. Membelai rambut putrinya.
Seharusnya Mama tak perlu takut. Dia malah senang ditinggalkan sendirian di rumah. Dia bukan penakut seperti anak-anak lainnya. Terbiasa ditinggalkan sendirian justru membuatnya belajar mandiri.
“Lho, kamu nggak senang Mama kamu ini pulang duluan?” Mamanya sedikit memprotes.
“Senang kok,” si gadis menyahut tanpa memandang Mama.
Hujan turun semakin deras. Disusul sambaran petir beberapa kali. Mama menggandeng tangannya, mengajaknya ke ruang tengah.
“Mau cappucino?” tawarnya lembut.
Ia mengangguk tanpa kata. Dengan senang, Mamanya membuatkan cappucino. Salah satu minuman favoritnya setelah green tea.
Minuman hangat membuat perasaannya lebih baik. Menempelkan gelas ke bibirnya, si gadis teringat sesuatu. Apakah di Seminari tersedia minuman selezat ini? Jika tidak ada, apa saja varian makanan dan minuman yang tersaji untuk para Frater yang tinggal di sana?
“Hei...kebiasaan kamu nggak hilang juga ya? Tubuh kamu ada di sini, tapi pikiran kamu di tempat lain.” Usik Mamanya. Ia tersadar. Bukankah banyak orang seperti itu? Raganya berada di satu tempat, namun jiwanya berada di tempat lain.
**
Mampukah kekasihmu setangguh aku
Menunggu tapi tak ditunggu
Bertahan tapi tak ditahan
Sampai kapankah mau begini
Kujalani kisah rahasia
Tersadarkah di balik senyuman
Sungguh ku terluka
Jika kau tak bisa pastikan
Sudahlah aku mengalah saja
Kau adalah pemenang
Walaupun aku juara kedua
Ku memberimu yang terbaik
Mengapa dia mendapatkan
Apa yang terbaik darimu
Sampai kapankah mau begini
Kujalani kisah rahasia
Tersadarkah di balik senyuman
Sungguh ku terluka
Jika kau tidak bisa pastikan
Sudahlah aku mengalah saja
Kau pemenang
Walaupun aku juara kedua (Fiersa-Juara Kedua).
**
“Tolong berikan ini pada Rosline.” Dani berkata pelan. Tangannya gemetar hebat saat mengulurkan bungkusan berisi Lasagna dan sehelai surat.
“Kenapa sih kamu masih perhatian sama dia? Ngapain dekat-dekat sama biarawati? Kamu udah punya Annisa. Kurang apa Annisa? Cantik, pintar, kaya, berprestasi, baik, shalehah lagi.” Abdullah mencecar Dani.
“Aku nggak bisa jelasin sama kamu. Pokoknya, Rosline harus terima kirimanku, okey?” kata Dani cepat.
Abdullah bergegas pergi. Dengan angkuh membuka pintu sedan merahnya. Meluncur menuju kompleks biara. Gawat, ia terang-terangan pergi ke biara dengan mobil mewah. Dani menjadi tak enak hati.
Tanpa sepengetahuan Dani, Annisa mengawasi kejadian itu dari balik pot-pot tanaman hias dan air mancur. Gadis cantik berdarah campuran Timur Tengah itu menggigit bibirnya hingga berdarah. Menangis tanpa suara. Ia tahu isi surat dan bungkusan itu. Dani mengabarkan pada Rosline tentang kondisi Papanya yang mengalami kecelakaan tunggal. Papa Dani, Tuan Alspadi, mengalami kecelakaan tunggal sepulang dari kantor. Beberapa tulangnya retak. Sore ini Tuan Alspadi harus menjalani operasi.
Tak hanya lewat surat, Dani pun mengirimi Rosline e-mail. Tak peduli apakah calon biarawati itu akan membacanya atau tidak. Annisa juga tahu isi e-mail itu karena Dani memberikan password e-mailnya. Soal mengirim makanan, Dani berkeras kalau makanan di biara tidak cukup ideal.
Annisa tahu itu semua. Hatinya hancur. Air matanya meleleh. Ya Allah, begini rasanya tidak dicintai. Dani mungkin hanya iba padanya. Rosline tetaplah pemilik hati Dani. Annisa hanya memiliki raganya.
Di kejauhan, dilihatnya Dani melirik arloji dengan gelisah. Sebentar-sebentar ia mengecek ponsel. Pastilah ia menunggu Annisa sebelum ke rumah sakit. Annisa berjanji menemaninya selama Tuan Alspadi operasi. Segera dihapusnya air mata, dipaksakannya senyum semanis mungkin, lalu ia berjalan menghampiri Dani.
“Hai. Sorry ya, lama nunggu. Jadi ke rumah sakit, kan?” sapa Annisa ceria.
“Iya.” Dani membukakan pintu mobilnya untuk Annisa. Dengan anggun, Annisa mulai duduk dan merapikan pakaiannya.
Mobil melaju menuju rumah sakit. Di tengah perjalanan, tiba-tiba Annisa melontarkan pertanyaan.
“Gimana kabar Rosline?”
Efeknya fatal. Dani nyaris menabrak pembatas jalan. Ia mengatur nafas, menguasai diri, lalu menjawab.
“Aku tidak tahu. Rosline tidak pernah balas e-mailku.”
Jelas sekali Dani menyembunyikan sesuatu dari Annisa. Azan Ashar menyelamatkan mereka dari situasi tak enak itu.
“Kita shalat dulu ya? Itu ada masjid di depan,” kata Dani.
Membelokkan mobilnya ke pelataran sebuah masjid besar, Dani mengucap syukur di dalam hati. Mengusap keringat dingin di keningnya. Nyaris saja ia mencelakakan Annisa. Ia pun telah menyakiti gadis baik hati itu.
**
Ingatkah dulu
Semua kenangan kita
Waktu kita bersama
Waktu kau cemburu
Kini kau menghilang
Seakan semua tak pernah ada
Sesaat saja tak kauzinkan
Kubuktikan semua pasti berubah
Andai saja ada kesempatan kauberikan
Kita masih bersama
Bagaimana harus kulupakan semua
Saat hati memanggil namamu
Atau harus kurelakan kenyataan
Kita memang tak sejalan
Namun kau adalah pemilik hatiku
Sesaat saja kauizinkan kubuktikan
Semua pasti berubah
Andai saja ada kesempatan kauberikan
Kita masih bersama
Bagaimana harus kulupakan semua
Saat hati memanggil namamu
Atau harus kurelakan kenyataan
Kita memang tak sejalan
Namun kau adalah pemilik hatiku
Bagaimana harus kulupakan semua
Saat hati memanggil namamu
Apa harus kurelakan kenyataan
Cinta memang tak sejalan
Namun kau adalah pemilik hatiku (Calvin Jeremy-Pemilik Hati).
**
Para mahasiswa terdiam. Mereka tak berkomentar apa pun saat Mr. Jatmika, dosen muda dan hypnotherapyst itu membanggakan si gadis bermata biru. Kembali tertangkap kebanggaan dalam nada suaranya.
“Dia satu-satunya yang mewakili angkatan kalian di ajang itu. Kenapa kalian tidak berpartisipasi?”
Sekali lagi, para mahasiswa terdiam. Lama-lama gadis bermata biru itu disergap rasa takut. Apakah membanggakan salah satu mahasiswa di depan mahasiswa lainnya tidak akan menimbulkan rasa iri? Ia sebenarnya tak ingin bermusuhan dengan siapa pun. Hatinya yang kesepian menjadi makin kesepian. Meski ia bahagia dosen walinya yang tampan dan disukai banyak mahasiswa itu memujinya.
Usai kuliah, ia bergegas ke ruang dosen. Saat ini ia butuh teman bicara. Ia butuh seseorang. Tepatnya butuh sosok yang lebih dewasa darinya untuk mengurangi beban kesedihan dan kesepian di dasar hati. Andai sang belahan jiwa ada di dekatnya, mungkin ini lebih mudah. Namun saat ini yang dimilikinya hanyalah dosen walinya. Seseorang yang berhasil memberinya perlindungan, kasih sayang, dan rasa aman selama presentasi Mahasiswa Berprestasi itu. Tentu ia mempercayainya.
Ruangan Mr. Jatmika sunyi. Terlihat pria tampan kelahiran 23 September 29 tahun lalu itu sedang shalat. Terlihat ia begitu khusyuk dalam ibadahnya. Kedua matanya terpejam menikmati komunikasi transendentalnya dengan Illahi. Masih tersisa bekas air wudhu di rambutnya. Tidak mengapa, justru kesan itu membuatnya semakin tampan dan menawan. Bukankah Mr. Jatmika pribadi yang religius?
Selesailah ritual ibadah itu. Mr. Jatmika mendekatinya.
“Ada apa?” tanyanya.
“Saya mau konsultasi,” sahut gadis itu perlahan.
“Okey. Sini, kita ke depan saja ya?”
Rasanya tenang sekali. Belum apa-apa, ia sudah merasakan ketenangan menghangati sekujur tubuhnya. Mr. Jatmika, berikut energi positif dan proteksi yang diberikannya, selalu membuatnya aman dan tenang. Jenis energi positif dan perlindungan ini seperti yang dirasakan dari sosok Mamanya, Albert, keluarga besarnya, dan beberapa sahabat dekatnya. Bersama mereka, ia merasa aman dan terlindungi dari rasa sakit, luka, serta kepedihan.
“Saya sudah melakukan saran Anda untuk tidak berasosiasi dengan masalah-masalah klien saya. Tapi...saya berasosiasi pada masalah dan perasaan Albert. Mengapa saya bisa merasakan emosinya? Rasa tidak dicintai, tidak dipedulikan, tidak diinginkan, dan tidak dirindukan memenuhi pikiran saya. Padahal itu semua bertentangan dengan mindset dan situasi saya. Saya diajarkan untuk percaya diri dan bahagia menikmati hidup.”
“Kamu berasosiasi padanya, karena kamu melibatkan diri terlalu jauh dengannya. Boleh bersimpati, boleh ikut merasakan emosinya, tapi kamu harus mencari penyelesaian dan penyembuhannya. Jangan membiarkan dirimu dan diri klienmu dikuasai emosi negatif yang sama. Boleh menjalin hubungan di luar hubungan teraputik, tapi selesaikan dulu proses terapinya. Jangan mencampuradukkan konteks terapis dengan klien dan konteks di luar itu, okey?” kata Mr. Jatmika.
“Hmm...begitu ya?” Gadis bermata biru itu menunduk, menatap dress merah marun yang melekat di tubuhnya.
Tanpa bisa tertahan lagi, gadis itu menceritakan segalanya. Tentang satu pertanyaan yang ditanyakannya pada Albert dan hingga kini belum terjawab. Tentang hal yang disembunyikan rapat-rapat. Tentang kado pemberiannya. Tentang belahan jiwanya yang seakan menghilangkan diri setelah ia menanyakan hal itu. Mr. Jatmika mendengarkan dengan sabar. Ayah satu putri itu memahami perasaan gadis di hadapannya.
“Katamu, dia seumuran saya ya?”
“Iya.”
“Seharusnya dia sudah cukup dewasa untuk menjawab pertanyaanmu dan mengambil keputusan. Seharusnya dia tahu itu.”
Sesaat hening. Gadis itu memberanikan diri mengangkat wajah. Menatap seraut wajah rupawan pria di depannya. Satu kalimat meluncur dari bibirnya.
“Dia pemilik hati saya.”
“Saya mengerti. Apa pun keputusan finalnya dan rencana Allah, dia akan tetap memiliki hatimu. Kamu boleh bersama pria lain, tapi dialah pemilik hatimu yang sesungguhnya. Bagaimana pun dia memperlakukanmu, seperti apa pun caranya menyembunyikan sesuatu dan tidak jujur padamu, itu bukan maksud yang sebenarnya. Percayalah.”
Inilah yang disukainya ketika berbicara dengan sesama hypnotherapyst yang mampu melihat sesuatu dari sudut pandang berbeda. Mr. Jatmika melihat dengan mata hati, seperti dirinya. Melihat dengan mata hati, menyembuhkan dengan cinta. Itulah prinsip mereka.
“Tapi...jenis hubungan seperti ini akan rentan mengalami luka.” Mr. Jatmika menghela nafas berat, tatapannya berubah sendu.
“Sulitkah?”
“Sangat sulit, Sayang. Saya pernah berada dalam situasi sepertimu. Masalahnya adalah prinsip. Tidak ada yang bisa mengubah prinsip.”
Suara Mr. Jatmika semakin lirih. Gadis bermata biru itu terkejut. Kali pertama panggilan penuh kasih itu dilontarkan oleh sang hypnotherapyst padanya. Ia bisa merasakan kepedihan, keletihan, sekaligus kasih sayang dan pengertian dari pria Virgo itu. Mr. Jatmika pantas menjadi pendidik, penyembuh, dan orang tua yang baik.
“Kesimpulannya, kamu harus menciptakan momen yang sempurna untuk menyelesaikan segalanya. Ada awal, maka ada akhir. Entah akhir itu sedih atau bahagia. Not find a perfect moment, but create a perfect moment. Ciptakan momen yang sempurna bersamanya, lalu selesaikan. Mau kemana kalian akan melangkah. Bagaimana masalah hati bisa diselesaikan tanpa mengintervensi masalah kesehatan klien.”
“Baik, akan saya lakukan. Satu lagi, Mr. Jatmika.”
“Apa itu?”
“Saya kesepian dan sering merasa tidak aman. Kadang-kadang saya berpikir, saya akan terluka dengan mudah. Orang menganggap saya kuat dan tegar, namun sesungguhnya tidak begitu. Saya bukan Nabi Ayub yang diuji penyakit, kehilangan harta, dan ditinggalkan Rahmah. Tersimpan ketakutan di hati kecil saya. Jika orang tua saya meninggal, khususnya Mama saya, apakah semua anggota keluarga besar akan tetap bersikap baik pada saya? Apa mereka akan tetap baik pada saya setelah orang tua saya meninggal? Apakah sebenarnya mereka baik hanya karena ada orang tua saya? Setelah orang tua saya meninggal, siapa yang akan melindungi saya? Siapa yang akan menjaga dan menyayangi saya? Siapa yang akan memberi perlindungan dan kenyamanan sebaik yang mereka berikan? Saya merasa sendirian, rapuh, dan tidak berguna.”
Satu jenis ketakutan yang hanya berani ia sampaikan pada Mr. Jatmika. Pada yang lain, ia tak sanggup mengatakannya. Ketakutan itu bercampur kesedihan.
“Sangat kompleks...sebenarnya ini bukan ranah saya. Tapi akhirnya saya tahu, mengapa kamu mencari seseorang yang mengerti dan memahami dirimu luar-dalam. Saya tahu alasannya. Karena ketakutan ini. Begini ya, apakah kamu akan berbuat baik atau jahat pada mereka?”
“Saya akan berbuat baik.”
“Bagus. Selama kamu berbuat baik, kamu tidak perlu takut. Kebaikan akan menuai kebaikan. Seperti halnya untuk mengubah orang lain. Sebelum mengubah orang lain, ubah dulu diri kita sendiri. Berbuat baik, tulus, mencintai, menyayangi, dan menebar kasih, maka kamu akan mendapatkan yang sama.”
Kata-kata Mr. Jatmika begitu lembut dan penuh kasih. Ia mengajarkan kebaikan. Ia menetralisir ketakutan dengan kebaikan. Kesekian kalinya, memberinya perlindungan dan rasa aman yang jarang didapatkannya dari orang lain.
Sesi konsultasi usai. Mr. Jatmika mengantarnya ke lantai bawah. Beban di hatinya sedikit berkurang. Waktunya mencari tahu apa yang terjadi dengan belahan jiwanya, sebisa mungkin mencoba menolongnya, dan menciptakan momen yang sempurna.
Baca konten-konten menarik Kompasiana langsung dari smartphone kamu. Follow channel WhatsApp Kompasiana sekarang di sini: https://whatsapp.com/channel/0029VaYjYaL4Spk7WflFYJ2H