“Soulmate-mu itu beruntung dicintai oleh kamu,” gumam Julian lirih. Lalu ia melanjutkan.
“Misalnya kamu menikah dengan orang lain suatu saat nanti, apa kamu akan tetap mencintainya?”
“Tentu saja. Boleh saja ragaku dimiliki pria lain, tapi hatiku tidak. Hatiku tetap miliknya.”
Bagai patung di Museum Madame Tussauds, Julian berdiri terpaku. Ia tak lagi membantah gadis itu. Ia sudah mengerti semuanya kini. Cinta yang tulus tidak akan mengharap balasan.
**
“Kini aku sadari... ini salahku. Tak ingin ku terlambat dan sesali. Maafkanlah bila ku selalu...membuatmu marah dan benci padaku. Kulakukan itu semua, hanya untuk membuatmu bahagia. Mungkin ku Cuma tak bisa pahami. Bagaimana cara tunjukkan maksudku. Aku Cuma ingin jadi yang terbaik untukmu.”
Dorongan hati membuatnya memainkan kesepuluh jarinya di atas piano dan menyanyikan lagu itu. Si gadis terperangkap dalam perasaan bersalah. Bersalah pada Albert, pada Julian, pada sepupunya, dan pada Roman.
“Ya Allah...maafkan aku. Bukan Albert yang membantuku memilih skala prioritas untuk tabungan itu, tapi Roman. Maafkan aku.”
Celakanya, ia masih melihat bayangan Albert dalam diri Roman. Meski mereka sesungguhnya berbeda.
Ia putuskan untuk membeli buku itu. Dan tetap mengikuti event dunia pageants itu. Dua-duanya tetap ia pilih. Demi menyenangkan hati mereka yang telah membantunya memilih. Di atas semua itu, buku dan modeling adalah hobinya. Ia ingin belajar mandiri. Seroyal apa pun orang tuanya dalam memberi, ia mencoba tidak meminta bantuan mereka.
“Dua-duanya bagus. Tapi...lebih baik untuk membeli buku saja. Kalau sudah selesai dibaca, bukunya bisa dikirimkan ke saya.”