Adik kandung Larissa itu mengangkat alisnya. “Milik biarawan itu, ya?”
Tertangkap nada dingin dan ketidaksukaan dalam suaranya saat mengucapkan kata biarawan itu.
“Tanpa kujawab pun, kamu sudah tahu. Dari pada mengharapkanku, lebih baik kamu segera nikahi Sarah. Dia lebih pantas untukmu.”
Si gadis berbalik. Melangkah pergi. Dagunya terangkat ke atas. Wajahnya nyaris tanpa ekspresi. Nuraninya terus membisikkan kata maaf. Jika sepupunya mengharapkan ia mencintainya lagi, justru ia menaruh harapan yang sama pada sosok yang lain. Bisakah waktu diputar kembali? Dan sosok itu bersikap sehangat, selembut, dan sesabar dulu lagi? Bisakah sosok yang lain itu mencintainya lagi?
“Tunggu! Dengarkan aku dulu!/”
Ternyata, adik kandung Larissa itu tak menyerah. Ia bersungguh-sungguh memohon hal itu. Mau tak mau si gadis menghentikan langkah. Menatap nanar wajah sepupunya.
“Sudahlah, Anton. Nikahilah Sarah. Jika kamu benar-benar menyayangiku, lakukan itu. Penuhi permintaanku.” Ucapnya letih. Ya, ia benar-benar letih kali ini. Tak punya cukup energi lagi untuk menghadapi kesepian, luka, dan kekecewaan lain.
“Bagaimana jika aku tak mau?” Anton berkeras.
“Berarti kamu tidak memahamiku. Sama seperti mantan Frater yang pernah menipuku, seorang Pater yang sudah membuatku sakit hati entah sengaja atau tidak, senior cantik yang sudah ingkar janji padaku, dan orang-orang lainnya yang menyakitiku. Ayolah, Anton. Tinggalkan aku dan nikahi Sarah. Biarkan aku menghadapi kesedihan ini sendirian.”
Semuanya telah berakhir. Menurutnya, inilah yang terbaik. Tak bisa lagi cinta terulang lagi seperti dulu.
Baca konten-konten menarik Kompasiana langsung dari smartphone kamu. Follow channel WhatsApp Kompasiana sekarang di sini: https://whatsapp.com/channel/0029VaYjYaL4Spk7WflFYJ2H