“Iya, tapi maknanya beda. Aku tidak suka panggilan sayang darimu.”
Ruangan oval itu hening. Gadis itu tak sadar jika ia telah menorehkan luka di hati Julian. Julian bergerak ke samping sofa, melingkarkan lengan. Seolah ingin memeluk gadis itu.
“Aku baru sampai dari Bengkulu...dan aku ingin peluk kamu. Tapi sikap kamu malah kayak gini.” Desahnya kecewa.
“Big no, Julian. Sekali tidak, tetap tidak. Kamu kan tahu isi hatiku.”
“Okey, aku tahu. Tapi, apa dia tahu kamu ada? Apa orang tidak tahu diri dan sok jual mahal itu menganggap kamu? Tidak, kan?”
Argumen Julian diplomatis. Tersimpan kemarahan dan rasa geram dalam setiap suku katanya.
“Aku tidak peduli, Julian. Terserah cinta itu akan terbalas atau tidak. Cinta yang tulus tidak akan pernah mengharapkan balasan.”
“Terus, kamu mau terus melakukan banyak kebaikan untuknya sampai kapan pun? Sampai umur kamu habis? Atau sampai dia duluan yang akhirnya meninggal?” tantang Julian.
“Iya. Itulah yang akan kulakukan.” Gadis bermata biru itu menyahut yakin.
Di luar dugaan, terlintas kilat kekaguman di mata Julian. “Kamu hebat, Sayang. Kamu...adalah gadis yang tidak pernah egois. Kamu selalu tahu cara menyayangi orang lain, sampai-sampai kamu lupa memikirkan dirimu sendiri.”
Entah itu pujian atau sindiran. Gadis itu tak peduli. Yang jelas ia telah melemparkan argumennya. Itu sudah cukup.