Terinspirasi dari perjalanan saya dan Mama akhir pekan lalu.
**
Menghirup rindu yang sesakkan dada
Jalanku hampa
Dan kusentuh dia
Terasa hangat di dalam hati
Kupegang erat dan kuhalangi waktu
Tak urung jua
Kulihat dia pergi
Tak pernah ragu
Dan selalu kuingat
Kerlingan matamu dan sentuhan hangat
Ku saat itu takut menjadi makna
Tumbuhkan rasa yang sesakkan dada
Kau datang dan pergi begitu saja
Semua kuterima apa adanya
Mata terpejam dan hati menggumam
Di ruang rindu
Kita bertemu (Letto-Ruang Rindu).
**
“Kamu tahu dari mana?”
Albert tertawa. Bagi gadis bermata biru itu, Albert tetap terlihat tampan dalam keadaan apa pun.
“Tahu dong. Mata-mataku kan banyak,” jawab gadis itu ceria.
“Mata yang selalu memperhatikanmu, meski kamu tak tahu. Pantang apa yang dipilih 40 hari menjelang Paskah?”
“Biasanya pantang makan daging,” jawab Albert.
“Well, bulan ini kamu ulang tahun. Mau kubelikan sesuatu?” tawar gadis itu penuh perhatian.
Sayangnya, Albert tidak menolak maupun mengiyakan. Ia justru pergi.
Gadis itu mengangguk paham. Pelan merapikan dress merahnya. Lagi-lagi Albert datang. Dan...ia pasti pergi lagi, sesuka hatinya. Memenuhi hatinya dengan bongkahan kerinduan.
Malamnya, ia bercerita pada Anton. Sepupunya yang tampan dan religius. Anton dan Albert, dua pria yang pernah memberinya sentuhan kasih itu. Dua pria yang memiliki huruf awalan dan umur yang sama. Sayangnya, Anton sangat tidak menyukai Albert.
“Nah kan, sudah jelas dia menyakitimu lagi?” komentarnya dingin.
“Sudahlah, kamu jauhi saja. Kalian tidak pantas bersatu. Selain beda keyakinan, kehidupan kalian pun sangat jauh berbeda. Logikanya begini, mana mungkin langit dan bumi bersatu?”
Penjelasan logis itu sukses mengunci bibirnya. Benarkah apa yang dikatakan Anton? Secara tidak langsung, perkataannya telah menginjak-injak harga diri Albert. Pasti Albert akan sedih sekali jika tahu itu.
Bukan hanya Anton yang melayangkan ketidaksukaan. Della, sepupunya yang lain, juga menyatakan hal serupa.
“Aku sudah liat foto-fotonya. Sebaiknya kamu jangan dekati dia lagi,” ujar Della singkat.
“Tapi kenapa?”
“Orang seperti itu tidak bisa membahagiakanmu. Coba cari pasangan seperti Andy itu. Dia bisa membahagiakanku, baik moril maupun materil.”
“Apa itu tidak materialistis namanya?”
Della tersenyum. Menghadap ke cermin, lalu mengikat rambutnya.
“Itu kan hak kita sebagai perempuan. Laki-laki yang memberi pada perempuan, bukan perempuan yang memberi pada laki-laki.”
Gadis bermata biru itu mengerutkan dahinya. Tak setuju dengan prinsip macam itu. Bukankah tangan di atas jauh lebih baik dari pada tangan di bawah? Memberi jauh lebih baik dari pada menerima? Apakah perempuan tidak boleh memberi sesuatu pada laki-laki yang dicintainya? Apakah harus selalu laki-laki yang memberi pada perempuan? Bagaimana jika kondisi si lelaki tidak memungkinkan untuk memberi lebih?
**
Walau sehari
Ku tak berhenti
Untuk mencari bunga hati
Oh rasa cinta bersabarlah menantinya
Oh rasa cinta bersabarlah menantinya
Begitu lama aku mencoba
Dan sampai kini tak berdaya
Oh rasa cinta bersabarlah menantinya
Oh rasa cinta bersabarlah menantinya
Walau tak kupunya
Tapi kupercaya cinta itu indah
Walau tak terlihat kupercaya cinta itu indah (Letto-Cinta Bersabarlah).
**
Makanan di piringnya belum habis. Kata Mama, restoran ini terkenal sebagai tempat orang-orang kantoran mengadakan rapat. Dulu Mama juga sering rapat di sini. Begitu pun Papa.
Sebenarnya gadis itu tak memiliki mood untuk makan. Tubuhnya penat. Ingin rasanya melangkah ke masjid, shalat Zuhur, lalu istirahat di kota cantik kelahirannya ini. Ia, Mama, dan Papanya baru tiba pagi tadi. Ada urusan katanya. Sebagai anak mereka yang manis, ia diajak serta. Terlebih ini Hari Sabtu. Libur akhir pekan yang sayang sekali bila dilewatkan di rumah saja.
Di seberang meja, terlihat Mama dan temannya berpelukan erat. Saling kecup pipi kanan-kiri. Teman Mamanya itu seorang kepala sekolah. Sudah puluhan tahun mereka berteman. Sejak kecil gadis itu mengenalnya, karena Mama sering mengajaknya bertemu teman-temannya.
“Cantik...kamu sudah besar ya? Sudah kelas berapa?” sapa sang kepala sekolah. Menjabat erat tangannya. Memperlihatkan cincin indahnya yang terbuat dari emas. Kepala sekolah itu feminin sekali. Senang memakai perhiasan. Berbeda dengan Mamanya yang tomboy dan tidak suka mengenakan perhiasan.
Ia menggigit bibirnya kuat. Memangnya ia terlihat seperti masih sekolah? Mengapa ia sering dianggap anak kecil? Oh my God...
“Sudah kuliah,” jawab Mama ceria.
“Oh...Alhamdulillah. Semester berapa?”
“Semester 4.”
Kepala sekolah itu mengangguk-angguk. Mengelus rambut panjang si gadis.
“Sudah punya pacar belum, Cantik? Atau sudah dilamar orang?”
Kedua pipinya memerah, namun hanya sebentar. Wajahnya berangsur sedih. Cinta? Lagi-lagi ia masih harus bersabar dan melihat apa skenario Allah selanjutnya. Ia mencintai Albert, sangat mencintainya. Namun semuanya takkan terjadi tanpa seizin Allah.
“Gimana kabarnya Rizky?” tanya Mama mengalihkan pembicaraan.
“Rizky sudah menikah dan punya satu anak.”
Gadis itu menengadah, terlihat senang. Satu anak lebih baik. Menikah atau tidak, ia tetap ingin punya anak tunggal. Agar cintanya tidak terbagi pada si anak tunggal.
Selesai makan siang, Mama mengajaknya ke masjid. Shalat dan melepas lelah sejenak. Bangunan masjid itu begitu besar dan luas. Papa tidak ikut. Seperti biasa, sibuk dengan urusannya sendiri.
“Mau kemana, Bu?”
Di teras masjid yang sejuk, seorang pria awal 50-an tahun menghampiri mereka. Postur tubuhnya gagah, senyumnya simpatik, dan pakaiannya rapi. Ia memegang gadget di satu tangan. Wajahnya bersih dan segar. Wajah yang sering dibasahi air wudhu.
“Mau ke rumah adik saya,” sahut Mama sopan.
Lewat dua kalimat singkat itu, keduanya malah mengobrol panjang. Si gadis hanya menjadi pendengar setia. Ternyata pria ini ayah dari 4 anak. Ia pernah menikah dua kali, namun hidupnya bahagia bersama istri dan keempat anaknya. Ia banyak bercerita tentang pekerjaannya, susahnya merawat anak laki-laki, dan pernikahan anak sulungnya.
“Punya anak laki-laki itu susah lho, Bu. Harus hati-hati membesarkan dan mendidiknya. Agar ia tidak nakal dan terjerumus dalam kejahatan. Makanya, sejak kecil saya terbiasa membekali mereka dengan materi dan kasih sayang. Mobil saya berikan, tapi saya selalu ingatkan agar mereka jangan ugal-ugalan. Jangan emosi saat mengemudi.”
Jangan emosi, kata-kata itu membekas di ingatannya. Tidak hanya saat mengemudi, tapi dalam berbagai situasi apa pun.
Cerita terus berlanjut. Pria ini tergolong ayah yang baik dan sabar. Ia pun mendidik anak-anaknya untuk sabar. Secara implisit, pria itu menasihati untuk tidak boleh buru-buru dalam mengambil keputusan. Membiarkan semuanya berproses. Menikmati prosesnya, dan melihat apa rencana Allah. Begitu pula soal cinta.
“Cinta, bersabarlah. Itu saja prinsipnya. Kita harus sabar, tulus, dan ikhlas menikmati prosesnya. Allah sudah tahu apa yang terbaik untuk kita. Bukankah manusia diciptakan berpasang-pasangan?”
Ya, ia ingat kalimat itu. Salah satu kandungan Surah Al-Hujurat ayat 13. Manusia diciptakan berpasangan. Manusia diciptakan dari bangsa dan suku yang berbeda untuk saling mengenal.
Pertemuan yang membawa pelajaran positif. Allah telah menegurnya dengan sangat lembut. Ayah 4 anak ini perantaranya. Nasihat-nasihatnya sangat inspiratif. Beruntung sekali keempat anaknya memiliki ayah seperti itu.
**
Rasa itu
Rasa itu semakin membuatku yakin padamu
Ku tak ragu
Ku tak ragu lagi kalau kucinta padamu
Kini aku tahu rasanya orang jatuh cinta
Seperti terbang ke angkasa
Suasana hatiku pun menjadi berbunga-bunga
Inikah cinta pertama (Isyana Sarasvati-Cinta Pertama).
**
Dani dan Rosline berdiri berhadapan. Beranda biara berselimut ketegangan. Lagi-lagi dua orang itu tengah bersitegang.
“Ngapain kamu ke sini lagi? Pergi sana!” usir Rosline.
“Rosline, kamu kenapa jadi berubah setelah masuk biara?” tanya Dani lembut.
Alis gadis berdarah Minahasa itu terangkat. “Berubah jadi apa? Ninja Turtle?”
Jika situasinya tidak seserius ini, ingin rasanya Dani tertawa. Pemuda yang baru berulang tahun yang ke-17 itu memegang erat bungkusan besar berisi brownies, sphagetti, pizza, dan cup cake yang dibawanya. Semua ini makanan kesukaan Rosline. Ia sengaja membawakannya.
“Kamu jadi dingin dan menghindariku. Kamu juga tidak mau menyentuh makanan kesukaanmu. Aku bawa ini semua karena aku care sama kamu. Aku tahu, di sini kamu hanya makan...”
“Aku senang hidup di sini, meski makanannya sangat sederhana.” Potong Rosline jengkel.
“Yakin? Kalau aku jadi kamu, aku tak tahan.”
Masih saja Dani bertahan di situ. Pemuda itu sangat tegar. Cinta Dani pada calon biarawati itu begitu besar.
“Pergi! Aku nggak butuh semua itu! Kamu cari gadis lain saja!” bentak Rosline tiba-tiba.
“Okey, aku pergi. Tapi kamu terima ini ya?” kata Dani seraya mengulurkan bawaannya.
Tanpa kata, Rosline merebut bungkusan di tangan Dani. Melempar bungkusan itu ke lantai. Semua makanan di dalamnya jatuh dan berantakan. Dani terbelalak melihatnya. Bukankah seseorang yang religius tidak akan bersikap sekasar itu? Beginikah cara Rosline menghindarinya? Dani memang paham, bahwa biarawan-biarawati harus memutuskan komunikasi dengan orang lain. Mereka belajar hidup sendiri. Menghayati hidup selibat atau tidak menikah. Namun, haruskah sekasar itu caranya?
Perlahan Dani melangkah mundur. Berbalik menuju sepedanya yang terparkir di halaman. Tiap kali datang ke kompleks biara, Dani tak pernah naik motor atau mobil. Kalau tidak berjalan kaki, ia memilih naik sepeda.
Dani memacu sepedanya meninggalkan kompleks biara. Makin lama kecepatannya makin tinggi. Hatinya sakit sekaligus bertanya-tanya. Rosline sudah berulang kali menyakitinya, tapi ia tetap mencintainya. Sebenarnya, apa yang ia lihat dari Rosline? Rosline memang cantik, baik, dan pintar. Tapi masih banyak gadis di sekolahnya yang jauh lebih cantik dan lebih baik segala-galanya dari Rosline. Harta kekayaan? Bibit, bebet, bobot? Dani bahkan tidak tahu seperti apa keluarga Rosline. Dani hanya tahu kalau Rosline berdarah Minahasa. Itu saja. Satu hal yang pasti, Dani mencintai Rosline tanpa syarat. Ia tak perlu alasan apa pun untuk mencintai Rosline.
Tiba di persimpangan jalan, Dani teringat sesuatu. Sore ini ia harus latihan band. Waktunya ke studio. Nah, lihatlah itu. Dani sangat aktif dan berbakat. Ia tergabung di ekskul paduan suara. Sekarang ini ia dan teman-temannya punya band yang cukup ngetop di kota mereka. Mereka sering mengisi acara di berbagai event, baik event yang diadakan instansi pemerintah maupun swasta. Sibuk bermusik tidak membuat Dani melupakan pelajaran. Ia selalu menempati ranking 10 besar. Sesuai ajakan sepupunya yang bermata biru itu, beberapa bulan lagi Dani akan mengikuti ajang pemilihan duta wisata. Semacam Mojang Jajaka di Jawa Barat, Dimas Diajeng di Yogyakarta, Kakang Mbakyu di Malang, Dara Daeng di Sulawesi Selatan, Putra-Putri Solo di Solo, dan Abang None di Jakarta. Tiap kota dan provinsi mempunyai agenda pemilihan duta wisata dengan nama khas dari daerahnya masing-masing. Bukankah jauh sekali perbedaan Dani dan Rosline? Seperti langit dan bumi?
Meski seperti langit dan bumi, apakah mereka tidak boleh bersatu? Pikiran Dani bertambah kacau. Pernah ia mencoba membenci Rosline, sama seperti sepupunya yang pernah mencoba membenci Albert. Namun tak bisa. Ia justru semakin mencintai calon biarawati itu.
Konsentrasi Dani hilang. Ia mengebut dan terus mengebut. Sampai-sampai tak menyadari beberapa meter di depannya terdapat tikungan tajam.
“Daniiii...awaaaas!”
Sebuah suara sopran menjerit tertahan dari ujung jalan dekat danau. Dani tak mendengarnya. Ia terjang begitu saja tikungan tajam itu. Laju sepeda sudah kehilangan kendali. Dani berteriak, sepedanya terbalik. Ia mendarat mulus di got. T-shirt dan jeansnya kotor.
Seorang gadis berambut lurus panjang berlari menghampirinya. Tangan halusnya terulur, membantu Dani berdiri. Nama gadis itu Annisa. Gadis berdarah Timur Tengah itu satu sekolah dengan Dani. Ayahnya seorang pejabat BUMN, ibunya pebisnis. Sudah rahasia umum bahwa Annisa menaruh hati pada Dani. Ia tetap mencintai Dani walaupun perasaan cintanya tak terbalas.
“Lain kali hati-hati ya? Kamu habis dari biara?” Annisa bertanya lembut.
“Iya. Thanks ya,” ujar Dani pelan.
“Sama-sama. Mau aku antar ke studio? Sekalian aku mau siaran. Stasiun radio dan studio musik kan searah.” Ajak Annisa.
Dani mengangguk. Rosline menggandeng tangannya ke mobil. Sedan biru milik Annisa terparkir di ujung jalan.
“Sepeda kamu gimana?” Annisa bertanya lagi saat mereka sudah duduk nyaman di dalam mobil.
“Biar saja. Besok aku beli lagi yang baru.” Jawab Dani ringan.
“Itu hadiah dari Papamu, kan?”
“Yup. Pasti besok Papa langsung belikan lagi. Aku tahu gimana royalnya Papaku.”
Annisa tersenyum kecil. Ia pun kenal baik orang tua Dani. Mobil terus melaju. Melewati balai kota, gedung pertemuan, Masjid Agung, dan pusat pertokoan. Sesekali menyelip beberapa motor dan mobil yang menghalangi.
“Kamu hebat ya, selalu low profile kalau datang ke biara.” Puji Annisa.
“Biasa aja kok. Aku Cuma menghormati prinsip hidup mereka yang sederhana. Makanya aku nggak pernah bawa motor atau mobil ke sana.” Balas Dani jujur.
“Orang-orang di biara juga hebat. Mereka mau hidup sederhana dan tidak menikah demi tujuan mulia. Tidak semua orang mau hidup seperti itu.”
Sekali lagi Dani dibuat kagum pada Annisa. Gadis itu sangat tulus. Ia pun menghormati dan mengagumi perbedaan. Selalu melihat segalanya dari sisi positif. Tak pernah berhenti mencintai dan memberi pertolongan meski Dani tak bisa membalasnya. Dani hanya mengangguk dan tersenyum mendengar pujian Annisa.
Melihat senyum itu, hati Annisa bergetar. Inilah rasanya jatuh cinta. Dani adalah cinta pertamanya. Makin hari, ia makin yakin pada perasaannya terhadap Dani. Annisa akan terus dan terus mencintai Dani, walau takkan memilikinya.
Minggu berikutnya, kisah Dani jalan berdua dengan Annisa ke studio menyebar cepat di sekolah. Alhasil, Dani habis ditertawakan teman-temannya.
“Ternyata kecebur got membawa hikmah ya!” komentar mereka di sela tawa.
“Udah, cepetan tembak si Annisa!”
Dani memasang ekspresi polos. Mengaduk-aduk jus jeruknya.
“Tembak? Nanti Annisanya mati dong,” ucapnya.
“Ah, jangan pura-pura bodoh. Maksudnya, jadiin Annisa pacar. Kurang apa dia? Cantik, iya. Kaya, jelas. Pintar, udah pasti. Multitallent, jangan diragukan lagi. Dibanding Rosline, dia jelas lebih segalanya.”
Maka, banyak murid di sekolah elite itu berusaha menjodohkan Dani dan Annisa. Lebih istimewa lagi ketika Annisa sama-sama dipersiapkan mengikuti ajang pemilihan duta wisata. Semakin dekatlah ia dengan Dani.
Usaha anak-anak kelas XI itu berhasil. Dani dan Annisa jadian. Hati Annisa makin berbunga-bunga. Begini rasanya menjadi kekasih dari pemuda yang dicintainya. Annisa sangat menikmati saat-saat bahagianya bersama Dani. Ia bahkan tak segan bermanja-manja dengan Dani. Namun, bagaimana dengan Dani?
**
Aku semakin tersiksa karena tak memilikimu
Kucoba jalani hari dengan pengganti dirimu
Tapi hatiku selalu berpihak lagi padamu
Mengapa semua ini terjadi kepadaku
Tuhan maafkan diri ini
Yang tak pernah bisa
Menjauh dari angan tentangnya
Namun apalah daya ini
Bila ternyata sesungguhnya
Aku terlalu cinta dia (Rossa-Terlalu Cinta).
**
“Sama seperti yang kurasakan, Dani. Sungguh...kita sama.”
Dua sepupu itu tengah bertukar cerita. Hanya ada Dani dan si gadis bermata biru. Tak ada Della, Dafa, Vallen, Keanu, Chelsea, Arif, Fadil, Rafif, Anton, dan para sepupu lainnya. Hanya mereka berdua.
Gadis itu senang bisa berbicara dengan Dani. Mamanya nampaknya senang juga bisa bertemu pemuda itu. Sudah lama Mama ingin punya anak laki-laki. Namun Allah ternyata memberinya anak perempuan. Baru satu jam lalu Mama meminta Dani kuliah di Unpad atau ITB tahun depan dan mengajaknya tinggal di rumah. Si gadis bermata biru mendukung usulan Mamanya. Agar ia tidak kesepian di rumah. Hanya tinggal bertiga dengan Mama dan Papa membuatnya kesepian. Jika ada Dani, mimpinya punya teman curhat di rumah terpenuhi.
“Iya, aku tidak bahagia dengan Annisa. Aku malah kasihan sama dia. Perasaan memang sulit diingkari.” Desah Dani lelah.
“Betul. Tahun lalu aku pernah mencoba mencari pengganti Albert. Aku mendapatkannya, dan menjadi kekasih dari pria itu. Namanya Taufan. Dia sangat baik dan pintar. Tapi, aku tidak bisa ingkar dengan hatiku sendiri. Aku merasa bersalah pada Taufan dan Albert. Pada akhirnya, kuakhiri hubunganku pada Taufan. Hatiku kembali untuk Albert.”
Dani tertunduk dalam. Haruskah ia memutuskan Annisa? Atau melanjutkan hubungan dalam pengingkaran? Dua pilihan itu sama-sama akan menyakiti dirinya sendiri dan Annisa. Dilematis.
Di sampingnya, si gadis bermata biru juga terlarut dalam perasaannya. Ia pernah mencoba membenci Albert, tapi gagal. Ia justru semakin mencintai Frater tampan itu. Ia pernah mencari pengganti Albert, namun ia sadar jika Albert takkan terganti. Sejak saat itu, ia tak mau mencari pengganti Albert lagi. Termasuk ketika ada yang menyatakan cintanya, ia tolak. Ia tutup pintu hatinya rapat-rapat kecuali untuk Albert.
“Aku mau tanya,” kata Dani tiba-tiba.
“Apa?”
“Kamu cinta Albert karena apa?”
“Karena apa? Tidak ada alasan apa pun. Jika kita benar-benar mencintai seseorang, kita tak butuh alasan apa pun. Cukup mencintainya saja. Cinta tanpa syarat, Dani.”
Seperti itu pulalah cinta Dani untuk Rosline. Cinta yang tidak memerlukan alasan. Cinta yang halus, tulus, ikhlas, dan sabar. Cinta yang tidak akan membenci meski telah disakiti. Itulah cinta yang sebenar-benarnya.
Dan cinta...bersabarlah.
Baca konten-konten menarik Kompasiana langsung dari smartphone kamu. Follow channel WhatsApp Kompasiana sekarang di sini: https://whatsapp.com/channel/0029VaYjYaL4Spk7WflFYJ2H