“Iya. Thanks ya,” ujar Dani pelan.
“Sama-sama. Mau aku antar ke studio? Sekalian aku mau siaran. Stasiun radio dan studio musik kan searah.” Ajak Annisa.
Dani mengangguk. Rosline menggandeng tangannya ke mobil. Sedan biru milik Annisa terparkir di ujung jalan.
“Sepeda kamu gimana?” Annisa bertanya lagi saat mereka sudah duduk nyaman di dalam mobil.
“Biar saja. Besok aku beli lagi yang baru.” Jawab Dani ringan.
“Itu hadiah dari Papamu, kan?”
“Yup. Pasti besok Papa langsung belikan lagi. Aku tahu gimana royalnya Papaku.”
Annisa tersenyum kecil. Ia pun kenal baik orang tua Dani. Mobil terus melaju. Melewati balai kota, gedung pertemuan, Masjid Agung, dan pusat pertokoan. Sesekali menyelip beberapa motor dan mobil yang menghalangi.
“Kamu hebat ya, selalu low profile kalau datang ke biara.” Puji Annisa.
“Biasa aja kok. Aku Cuma menghormati prinsip hidup mereka yang sederhana. Makanya aku nggak pernah bawa motor atau mobil ke sana.” Balas Dani jujur.
“Orang-orang di biara juga hebat. Mereka mau hidup sederhana dan tidak menikah demi tujuan mulia. Tidak semua orang mau hidup seperti itu.”