“Rizky sudah menikah dan punya satu anak.”
Gadis itu menengadah, terlihat senang. Satu anak lebih baik. Menikah atau tidak, ia tetap ingin punya anak tunggal. Agar cintanya tidak terbagi pada si anak tunggal.
Selesai makan siang, Mama mengajaknya ke masjid. Shalat dan melepas lelah sejenak. Bangunan masjid itu begitu besar dan luas. Papa tidak ikut. Seperti biasa, sibuk dengan urusannya sendiri.
“Mau kemana, Bu?”
Di teras masjid yang sejuk, seorang pria awal 50-an tahun menghampiri mereka. Postur tubuhnya gagah, senyumnya simpatik, dan pakaiannya rapi. Ia memegang gadget di satu tangan. Wajahnya bersih dan segar. Wajah yang sering dibasahi air wudhu.
“Mau ke rumah adik saya,” sahut Mama sopan.
Lewat dua kalimat singkat itu, keduanya malah mengobrol panjang. Si gadis hanya menjadi pendengar setia. Ternyata pria ini ayah dari 4 anak. Ia pernah menikah dua kali, namun hidupnya bahagia bersama istri dan keempat anaknya. Ia banyak bercerita tentang pekerjaannya, susahnya merawat anak laki-laki, dan pernikahan anak sulungnya.
“Punya anak laki-laki itu susah lho, Bu. Harus hati-hati membesarkan dan mendidiknya. Agar ia tidak nakal dan terjerumus dalam kejahatan. Makanya, sejak kecil saya terbiasa membekali mereka dengan materi dan kasih sayang. Mobil saya berikan, tapi saya selalu ingatkan agar mereka jangan ugal-ugalan. Jangan emosi saat mengemudi.”
Jangan emosi, kata-kata itu membekas di ingatannya. Tidak hanya saat mengemudi, tapi dalam berbagai situasi apa pun.
Cerita terus berlanjut. Pria ini tergolong ayah yang baik dan sabar. Ia pun mendidik anak-anaknya untuk sabar. Secara implisit, pria itu menasihati untuk tidak boleh buru-buru dalam mengambil keputusan. Membiarkan semuanya berproses. Menikmati prosesnya, dan melihat apa rencana Allah. Begitu pula soal cinta.
“Cinta, bersabarlah. Itu saja prinsipnya. Kita harus sabar, tulus, dan ikhlas menikmati prosesnya. Allah sudah tahu apa yang terbaik untuk kita. Bukankah manusia diciptakan berpasang-pasangan?”