Sebenarnya gadis itu tak memiliki mood untuk makan. Tubuhnya penat. Ingin rasanya melangkah ke masjid, shalat Zuhur, lalu istirahat di kota cantik kelahirannya ini. Ia, Mama, dan Papanya baru tiba pagi tadi. Ada urusan katanya. Sebagai anak mereka yang manis, ia diajak serta. Terlebih ini Hari Sabtu. Libur akhir pekan yang sayang sekali bila dilewatkan di rumah saja.
Di seberang meja, terlihat Mama dan temannya berpelukan erat. Saling kecup pipi kanan-kiri. Teman Mamanya itu seorang kepala sekolah. Sudah puluhan tahun mereka berteman. Sejak kecil gadis itu mengenalnya, karena Mama sering mengajaknya bertemu teman-temannya.
“Cantik...kamu sudah besar ya? Sudah kelas berapa?” sapa sang kepala sekolah. Menjabat erat tangannya. Memperlihatkan cincin indahnya yang terbuat dari emas. Kepala sekolah itu feminin sekali. Senang memakai perhiasan. Berbeda dengan Mamanya yang tomboy dan tidak suka mengenakan perhiasan.
Ia menggigit bibirnya kuat. Memangnya ia terlihat seperti masih sekolah? Mengapa ia sering dianggap anak kecil? Oh my God...
“Sudah kuliah,” jawab Mama ceria.
“Oh...Alhamdulillah. Semester berapa?”
“Semester 4.”
Kepala sekolah itu mengangguk-angguk. Mengelus rambut panjang si gadis.
“Sudah punya pacar belum, Cantik? Atau sudah dilamar orang?”
Kedua pipinya memerah, namun hanya sebentar. Wajahnya berangsur sedih. Cinta? Lagi-lagi ia masih harus bersabar dan melihat apa skenario Allah selanjutnya. Ia mencintai Albert, sangat mencintainya. Namun semuanya takkan terjadi tanpa seizin Allah.
“Gimana kabarnya Rizky?” tanya Mama mengalihkan pembicaraan.