“Untung ada Mas Albert ini. Dia langsung bantu kami dan melihat langsung kecelakaan itu.”
Mendengar nama Albert disebut, refleks Renna mengalihkan tatapannya. Ia familiar dengan nama itu. Kakak kelas terdekatnya semasa SMA dan kuliah sering kali menyebutnya. Tampan, pikir Renna. Bukan hanya secara fisik. Melainkan tampan luar-dalam. Seperti yang ia tahu selama ini. Betulkah pemuda di depannya itu permata hati kakak kelas terdekatnya?
“Masya Allah! Albert, kamu belum sehat! Turunkan anak kecil itu di brankar! Kamu masih sakit!” seru Tiwi panik.
“Maaf, Kak. Tadi aku yang mengangkatnya dari jalan raya dan menggendongnya ke sini. Beberapa menit lalu dia terus merintih kesakitan. Aku tidak tega,” Albert meminta maaf.
“Iya, Kakak mengerti. Kembalilah ke kamarmu.”
“Tidak bisa...aku ingin mendampingi anak ini. Kasihan dia.”
Tiwi mendesah pasrah. Tak ada gunanya lagi membujuk adiknya. Albert yang keras kepala pasti akan berada di sisi anak malang itu sampai kondisinya membaik.
Segera saja tim medis bergerak cepat. Membawa para korban ke Unit Gawat Darurat. Membersihkan luka-luka. Menjahit luka. Mengambil perban dan gunting. Menyiapkan ruang perawatan. Memasang infus. Di sela kesibukannya, Renna tak lepas memikirkan Albert. Semua yang dikatakan kakak kelasnya benar. Sungguh, tak sedikit pun yang keliru. Figur pemuda yang tak pernah mementingkan dirinya sendiri. Selalu ada untuk membantu orang lain. Ia hadir bagaikan malaikat dalam proses kecelakaan itu. Membantu anak cantik yang terluka parah meski tidak dikenalnya. Bahkan mengabaikan keadaan tubuhnya sendiri yang digerogoti sel kanker. Benar-benar tipikal pemuda yang dicari gadis mana pun.
**
Hingga larut malam, gadis kecil itu belum juga sadar. Albert menungguinya di ruang rawat. Ia tak peduli jika dirinya sendiri harus beristirahat. Gadis kecil itulah yang lebih penting.
“Kamu masih di sini?” sapa Renna saat datang ke ruang rawat untuk mengganti perban di kepala anak itu.