**
Pasca pernikahan Rafly, Renna tenggelam dalam rutinitasnya sebagai perawat. Ia tak keberatan berjaga full time di rumah sakit. Cukup sering ia menggantikan tugas rekan kerjanya. Semuanya demi dua tujuan: move on dan mendedikasikan diri seutuhnya untuk pasien.
“Ya Allah, kuatkanlah hatiku. Bantu aku mengikhlaskan pria yang kucintai. Bantu aku melupakannya, hapuskanlah dia dari pikiranku.” Renna menutup shalatnya dengan doa. Bersimpuh memohon kekuatan dari Sang Illahi. Mengadukan kepedihan hatinya pada Dzat Pemberi dan Pemilik Kehidupan.
Usai shalat, ia bergegas kembali ke unit gawat darurat. Ia berpapasan dengan Tiwi. Dokter cantik itu nampaknya juga baru selesai shalat.
“Sore, Renna.” Sapa Tiwi hangat.
“Sore...” balas Renna.
“Well, adikku keras kepala. Seharusnya dia istirahat di ruang rawat. Tapi dia malah jalan-jalan ke depan rumah sakit. Astaga...” Tiwi mengungkapkan kekesalannya.
Renna tersenyum tipis. “Mungkin adiknya Dokter Tiwi bosan. Makanya dia cari suasana baru.”
Belum sempat Tiwi menanggapi, terjadi kegaduhan di ujung koridor. Derit brankar, suara tangisan, erang kesakitan, dan derap langkah sepatu. Tiwi dan Renna bergegas menghampiri keributan itu.
“Ada apa ini?” tanya Tiwi.
“Barusan ada tabrakan di depan rumah sakit. Antara minibus dan taksi. Mereka korban-korbannya.” Jelas salah seorang Suster seraya menunjuk beberapa anak kecil dan dua pria dewasa. Salah satu anak kecil di antaranya terluka sangat parah. Darah terus mengalir dari kepalanya. Anak perempuan yang tetap terlihat cantik meski terluka itu berada dalam pelukan sesosok pemuda bertubuh proporsional dengan wajah tampan dan sepasang mata teduh menenangkan. Pemuda itu memakai piyama rumah sakit.