Ia tiba di ruang tamu. Gadget-nya berdering menandakan e-mail masuk. Sekilas diliriknya e-mail itu. Dari gadis yang sama, bisik hati kecilnya. Hanya satu kalimat.
“Semoga kamu baik-baik saja, mijn lieve Albertus Arif.”
Ia tak mampu membalasnya. Hanya sanggup membaca dan terus membaca. Mematri kalimat penuh perhatian itu dalam memorinya. Gadis itu tak berubah. Selalu memperhatikannya, mengingatnya, dan menyisihkan waktu untuknya sesibuk apa pun dia.
Semenit. Dua menit. Tiga menit. Albert merasakan cairan merah mengalir dari hidungnya. Tidak, mengapa harus terjadi lagi? Betulkah pembuluh darahnya mengalami vaso kontraksi lalu pecah?
Tergesa-gesa ia melangkah menuju wastafel. Gemetar tangannya memutar keran. Membiarkan air mengucur deras. Membersihkan darahnya. Mungkin saja ia harus terbiasa dengan serangan semacam ini. Tapi bagaimana dengan anggota keluarganya yang lain?
“Albert, kamu mimisan lagi ya?”
Apa yang ditakutkannya terjadi. Kedua kakaknya-Nico dan Tiwi-datang mendekat. Wajah keduanya diliputi kecemasan.
Seakan itu belum cukup, tiba-tiba Albert muntah darah. Tiwi dan Nico menahan nafas. Kedua dokter muda itu waswas. Ya Allah, apa lagi yang akan terjadi pada adik mereka kali ini? Belum cukupkah ujian yang mesti dihadapinya?
**
“Hasil tes laboratorium, anamnesis, Bone Marrow Puncture, dan MRI menunjukkan...” Nico menggantung kalimatnya. Tak kuasa melanjutkan.
Albert menanti. Siap mendengar vonis apa pun dari kakak sulungnya. Nico menghela nafas, lalu melanjutkan.