Mohon tunggu...
Latifah Maurinta
Latifah Maurinta Mohon Tunggu... Novelis - Penulis Novel

Nominee best fiction Kompasiana Awards 2019. 9 September 1997. Novel, modeling, music, medical, and psychology. Penyuka green tea dan white lily. Contact: l.maurinta.wigati@gmail.com Twitter: @Maurinta

Selanjutnya

Tutup

Cerpen

Saling Mengenali

19 November 2016   08:15 Diperbarui: 19 November 2016   09:23 47
+
Laporkan Konten
Laporkan Akun
Kompasiana adalah platform blog. Konten ini menjadi tanggung jawab bloger dan tidak mewakili pandangan redaksi Kompas.
Lihat foto
Cerpen. Sumber ilustrasi: Unsplash

Atmosfer kebahagiaan melingkupi function room di Hotel Hilton. Alunan Fur Elise yang dimainkan oleh pianis di sisi lain ruangan berganti dengan instrumentalia ‘She’ yang diambil dari ost soundtrack Full House. Memperkuat aura romantis di ruangan ini. Sebuah perhelatan tengah digelar. Tak lain perhelatan bersatunya dua jiwa dalam sebuah ikatan suci.

Keluarga besar berbahagia, tamu undangan datang dengan doa, dan kedua mempelai bersyukur tak henti-hentinya. Ucapan selamat terus diberikan. Slide show menayangkan foto-foto pre-wedding mereka. Mereka berfoto dengan backdrop Eiffel Tower. Konsep pre-wedding yang romantis dan menawan. Tak sia-sia pasangan itu mengeluarkan budget ekstra untuk perayaan dua jiwa yang telah menyatu.

Di antara senyum bahagia mempelai, keluarga, dan tamu undangan, hanya gadis itu satu-satunya yang menyeka air mata. Air mata duka tepatnya. Sepasang mata beningnya menatap sendu nama yang terukir di depan pelaminan:

Rafly Fathurozi

And

Chanigia Kholifah

Air matanya kembali menetes. Satu-satu membasahi pipi putihnya.

“Selamat tinggal Rafly...aku akan selalu mencintaimu. Aku melepasmu bukan berarti aku tak mencintaimu.” Bisiknya.

Pernikahan Rafly dan Chani sukses mematahkan hati gadis cantik berdarah Sunda yang mengabdikan hidupnya sebagai perawat. Renna Maya. Renna telah melepas cinta pertamanya untuk wanita lain.

**     

Pemuda tampan itu menutup pintu mobilnya. Melangkah tertatih memasuki rumah. Sepulang dari kantor, kepalanya terasa begitu sakit. Lelah luar biasa menguasai tubuhnya. Apa yang terjadi dengan tubuhnya? Apakah sel-sel Leukositnya kembali berproduksi secara abnormal seperti beberapa tahun lalu?

Ia tiba di ruang tamu. Gadget-nya berdering menandakan e-mail masuk. Sekilas diliriknya e-mail itu. Dari gadis yang sama, bisik hati kecilnya. Hanya satu kalimat.

“Semoga kamu baik-baik saja, mijn lieve Albertus Arif.”

Ia tak mampu membalasnya. Hanya sanggup membaca dan terus membaca. Mematri kalimat penuh perhatian itu dalam memorinya. Gadis itu tak berubah. Selalu memperhatikannya, mengingatnya, dan menyisihkan waktu untuknya sesibuk apa pun dia.

Semenit. Dua menit. Tiga menit. Albert merasakan cairan merah mengalir dari hidungnya. Tidak, mengapa harus terjadi lagi? Betulkah pembuluh darahnya mengalami vaso kontraksi lalu pecah?

Tergesa-gesa ia melangkah menuju wastafel. Gemetar tangannya memutar keran. Membiarkan air mengucur deras. Membersihkan darahnya. Mungkin saja ia harus terbiasa dengan serangan semacam ini. Tapi bagaimana dengan anggota keluarganya yang lain?

“Albert, kamu mimisan lagi ya?”

Apa yang ditakutkannya terjadi. Kedua kakaknya-Nico dan Tiwi-datang mendekat. Wajah keduanya diliputi kecemasan.

Seakan itu belum cukup, tiba-tiba Albert muntah darah. Tiwi dan Nico menahan nafas. Kedua dokter muda itu waswas. Ya Allah, apa lagi yang akan terjadi pada adik mereka kali ini? Belum cukupkah ujian yang mesti dihadapinya?

**    

“Hasil tes laboratorium, anamnesis, Bone Marrow Puncture, dan MRI menunjukkan...” Nico menggantung kalimatnya. Tak kuasa melanjutkan.

Albert menanti. Siap mendengar vonis apa pun dari kakak sulungnya. Nico menghela nafas, lalu melanjutkan.

“Kanker darah itu kembali.”

Asumsinya tak keliru. Leukemia, sekali lagi menginvasi tubuhnya. Pernyataan sembuh dari kanker rupanya tak menjamin apa-apa. Toh pada akhirnya sel-sel darah putih di tubuhnya akan tumbuh berkali lipat lebih banyak dan menghancurkan sistem antibodinya sendiri. Ironis.

“Berapa lama aku bisa bertahan?” tanya Albert datar.

“Jangan berkata begitu,” cegah Nico buru-buru. Tertangkap nada cemas dalam suaranya.

“Kamu pasti sembuh. Ikutilah prosedur pengobatan seperti dulu. Kemoterapi, pemakaian obat-obat sitostatika, dan radioterapi. Insya Allah semuanya akan baik-baik saja.”

Albert mengangguk perlahan. Ya, ia percaya masih ada setitik harapan. Harapan kesembuhan.

“Kamu harus menjalani rawat inap di rumah sakit, okey?” kata Nico.

“Tapi...bagaimana dengan pekerjaanku? Klien-klienku?” protes Albert.

Nico menatapnya tajam. Pria kelahiran 15 Juni itu berujar tegas.

“Bukannya kamu masih ingin hidup lebih lama? Turutilah saranku.”

Percuma saja berargumen dengan Nico. Lagi pula, ini demi kebaikannya sendiri. Mau tak mau Albert harus menurut. Mesti ditekannya dalam-dalam rasa muaknya pada rumah sakit.

**    

Pasca pernikahan Rafly, Renna tenggelam dalam rutinitasnya sebagai perawat. Ia tak keberatan berjaga full time di rumah sakit. Cukup sering ia menggantikan tugas rekan kerjanya. Semuanya demi dua tujuan: move on dan mendedikasikan diri seutuhnya untuk pasien.

“Ya Allah, kuatkanlah hatiku. Bantu aku mengikhlaskan pria yang kucintai. Bantu aku melupakannya, hapuskanlah dia dari pikiranku.” Renna menutup shalatnya dengan doa. Bersimpuh memohon kekuatan dari Sang Illahi. Mengadukan kepedihan hatinya pada Dzat Pemberi dan Pemilik Kehidupan.

Usai shalat, ia bergegas kembali ke unit gawat darurat. Ia berpapasan dengan Tiwi. Dokter cantik itu nampaknya juga baru selesai shalat.

“Sore, Renna.” Sapa Tiwi hangat.

“Sore...” balas Renna.

“Well, adikku keras kepala. Seharusnya dia istirahat di ruang rawat. Tapi dia malah jalan-jalan ke depan rumah sakit. Astaga...” Tiwi mengungkapkan kekesalannya.

Renna tersenyum tipis. “Mungkin adiknya Dokter Tiwi bosan. Makanya dia cari suasana baru.”

Belum sempat Tiwi menanggapi, terjadi kegaduhan di ujung koridor. Derit brankar, suara tangisan, erang kesakitan, dan derap langkah sepatu. Tiwi dan Renna bergegas menghampiri keributan itu.

“Ada apa ini?” tanya Tiwi.

“Barusan ada tabrakan di depan rumah sakit. Antara minibus dan taksi. Mereka korban-korbannya.” Jelas salah seorang Suster seraya menunjuk beberapa anak kecil dan dua pria dewasa. Salah satu anak kecil di antaranya terluka sangat parah. Darah terus mengalir dari kepalanya. Anak perempuan yang tetap terlihat cantik meski terluka itu berada dalam pelukan sesosok pemuda bertubuh proporsional dengan wajah tampan dan sepasang mata teduh menenangkan. Pemuda itu memakai piyama rumah sakit.

“Untung ada Mas Albert ini. Dia langsung bantu kami dan melihat langsung kecelakaan itu.”

Mendengar nama Albert disebut, refleks Renna mengalihkan tatapannya. Ia familiar dengan nama itu. Kakak kelas terdekatnya semasa SMA dan kuliah sering kali menyebutnya. Tampan, pikir Renna. Bukan hanya secara fisik. Melainkan tampan luar-dalam. Seperti yang ia tahu selama ini. Betulkah pemuda di depannya itu permata hati kakak kelas terdekatnya?

“Masya Allah! Albert, kamu belum sehat! Turunkan anak kecil itu di brankar! Kamu masih sakit!” seru Tiwi panik.

“Maaf, Kak. Tadi aku yang mengangkatnya dari jalan raya dan menggendongnya ke sini. Beberapa menit lalu dia terus merintih kesakitan. Aku tidak tega,” Albert meminta maaf.

“Iya, Kakak mengerti. Kembalilah ke kamarmu.”

“Tidak bisa...aku ingin mendampingi anak ini. Kasihan dia.”

Tiwi mendesah pasrah. Tak ada gunanya lagi membujuk adiknya. Albert yang keras kepala pasti akan berada di sisi anak malang itu sampai kondisinya membaik.

Segera saja tim medis bergerak cepat. Membawa para korban ke Unit Gawat Darurat. Membersihkan luka-luka. Menjahit luka. Mengambil perban dan gunting. Menyiapkan ruang perawatan. Memasang infus. Di sela kesibukannya, Renna tak lepas memikirkan Albert. Semua yang dikatakan kakak kelasnya benar. Sungguh, tak sedikit pun yang keliru. Figur pemuda yang tak pernah mementingkan dirinya sendiri. Selalu ada untuk membantu orang lain. Ia hadir bagaikan malaikat dalam proses kecelakaan itu. Membantu anak cantik yang terluka parah meski tidak dikenalnya. Bahkan mengabaikan keadaan tubuhnya sendiri yang digerogoti sel kanker. Benar-benar tipikal pemuda yang dicari gadis mana pun.

**   

Hingga larut malam, gadis kecil itu belum juga sadar. Albert menungguinya di ruang rawat. Ia tak peduli jika dirinya sendiri harus beristirahat. Gadis kecil itulah yang lebih penting.

“Kamu masih di sini?” sapa Renna saat datang ke ruang rawat untuk mengganti perban di kepala anak itu.

“Iya...aku tidak bisa meninggalkannya.” Sahut Albert.

“Tapi kamu juga harus istirahat. Aku sudah tahu banyak tentangmu dari Dokter Tiwi dan Dokter Nico.”

Albert mengangkat alisnya. “Oh ya? Apa yang mereka ceritakan? Tunggu...kita belum berkenalan. Siapa namamu?”

“Renna,”

Keduanya berkenalan. Renna, sepotong nama itu mengingatkan Albert pada gadisnya. Beberapa kali sang gadis menyebut nama Renna sebagai adik kelas yang paling dekat dengannya. Adik kelas yang paling cocok bersahabat dengannya lantaran mereka memiliki banyak kesamaan.

Sesaat keduanya terdiam. Mencoba saling mengenali satu sama lain. Entah, meski baru saja bertemu, namun keduanya merasa sudah saling kenal dan memahami lebih dalam. Ada tarikan emosional yang kuat di antara mereka.

“Aku tak asing dengan namamu,” tukas Renna memecah keheningan.

“Aku juga.” Balas Albert. Sukses membuat Renna mengangkat wajah, menatap tepat ke dalam mata teduhnya. “Benarkah?”

“Iya. Ada...seorang gadis yang pernah menyebut namamu padaku. Namanya Maurin. Kamu kenal?”

“Tentu saja! Dia kakak kelasku yang paling dekat dan paling mengerti aku!” Renna menyahut antusias.

Albert terpana mendengarnya. Allah telah mengatur segalanya dengan begitu sistematis. Termasuk pertemuan mereka di sini. Setiap kejadian pasti ada hikmahnya.

**    

Sendirian di balkon kamar rawatnya, Albert kembali frustasi. Ia dipaksa Nico dan Tiwi kembali ke kamar rawatnya. Kamar rawat VVIP yang disiapkan khusus untuknya. Nico dan Tiwi pun membawa beberapa barang pribadinya dan mendekor ulang kamar rawat itu demi kenyamanan sang adik bungsu.

Albert terus saja dibayangi keresahan dan kesedihan. Masih pantaskah ia bersama gadis itu? Kondisinya sudah jauh berbeda, waktunya mungkin tak lama lagi. Akankah ia membuat gadis itu terluka?

Dikuasai rasa furstasi, Albert melangkah ke dekat upright piano putihnya. Menggerakkan jemari di atas tuts piano. Mengadukan gundah dan penatnya lewat lagu. Baru setengah jalan memainkan intro, sepasang tangan halus menepuk punggungnya.

“Hei...” ucap sebuah suara sopran.

Pemuda tampan itu membalikkan tubuh. Mendapati Renna berdiri di belakangnya. Wajah cantiknya dihiasi senyuman.

“Aku baru selesai tugas,” katanya.

“Kamu mau nyanyi ya? Lanjutkan...aku juga mau.”

Intro berlanjut. Kemudian mengalirlah suara sopran dan barithon itu membawakan lagu.

ku tatap dua bola matamu

tersirat apa yang kan terjadi

kau ingin pergi dariku, meninggalkan semua kenangan

menutup lembaran cerita oh sayangku aku tak mau

ku tahu semua akan berakhir

tapi ku tak rela lepaskanmu

kau tanya mengapa aku tak ingin pergi darimu

dan mulutku diam membisu

salahkah bila diriku terlalu mencintaimu

jangan tanyakan mengapa karena ku tak tahu

aku pun tak ingin bila kau pergi tinggalkan aku

masihkah ada hasratmu tuk mencintaiku lagi

apakah yang harus aku lakukan

tuk menarik perhatianmu lagi oooh

walaupun harus mengiba agar kau tetap di sini

lihat aku duhai sayangku

salahkah bila diriku terlalu mencintaimu

jangan tanyakan mengapa karena ku tak tahu

aku pun tak ingin bila kau pergi tinggalkan aku

masihkah ada hasratmu tuk mencintaiku lagi

salahkah bila diriku terlalu mencintaimu

jangan tanyakan mengapa karena ku tak tahu

aku pun tak ingin bila kau pergi tinggalkan aku

masihkah ada hasratmu tuk mencintaiku lagi (Fatin Shidqia-Salahkah Aku Terlalu Mencintaimu).

Tercermin kesedihan dalam dua pasang mata itu. Sepasang mata bening bertemu sepasang mata teduh. Masing-masing menyiratkan kepedihan mendalam.

Renna sekuat tenaga menahan lelehan bening itu di ujung matanya. Ia bertekad untuk tidak menangis di depan Albert. Justru sekaranglah saatnya ia ingin bicara sesuatu dengan pemuda itu. Kesempatan emas tak boleh disia-siakan.

“Albert?” panggil Renna hati-hati.

“Ya?”

“Kamu masih menghilang dalam kehidupan Kak Maurin?”

Albert menarik nafas. Pikirannya lagi-lagi tertuju pada gadis itu. “Iya. Aku punya alasan kuat untuk melakukannya. Aku takut dia terluka. Apa lagi dengan keadaanku sekarang.”

“Hmm...aku tahu alasanmu cukup kuat. Hatimu lembut, kamu juga tulus dan sabar. Pantas saja Kak Maurin sayang padamu.”

“Jangan memujiku. Itu terlalu berlebihan.” Bantah Albert.

“Sama sekali tidak. Itu bukan pujian, tapi aku berkata apa adanya. Aku kan sudah membaca dan menilai dirimu sejak lama. Hanya saja, selama ini aku tidak pernah memperlihatkan diri di depanmu.” Jelas Renna tenang.

Kini Albert terdiam. Renna dan Maurin, dua gadis berperasaan tajam yang pandai membaca aura serta mengungkapkan penilaian mereka. Dua orang gadis yang memiliki mata batin serta ilmu firasat yang kuat. Ada kemampuan khusus dalam diri mereka yang berkaitan dengan melihat sesuatu yang tidak bisa dilihat dengan mata biasa.

“Aku hanya ingin mengingatkan satu hal, Albert. Bicaralah pada kakakku itu saat kamu sudah bisa bicara dengannya. Saat kamu sudah siap. Dia siap menunggumu kapan saja.”

Menunggu kapan saja? Albert mempercayai itu. Ia memahami Maurin luar-dalam. Ia tahu seperti apa gadis itu, baik kekurangan maupun kelebihannya. Sampai kapankah Albert akan terus bertahan pada situasi ini?

HALAMAN :
  1. 1
  2. 2
  3. 3
  4. 4
  5. 5
  6. 6
  7. 7
  8. 8
  9. 9
  10. 10
  11. 11
Mohon tunggu...

Lihat Konten Cerpen Selengkapnya
Lihat Cerpen Selengkapnya
Beri Komentar
Berkomentarlah secara bijaksana dan bertanggung jawab. Komentar sepenuhnya menjadi tanggung jawab komentator seperti diatur dalam UU ITE

Belum ada komentar. Jadilah yang pertama untuk memberikan komentar!
LAPORKAN KONTEN
Alasan
Laporkan Konten
Laporkan Akun