Tercermin kesedihan dalam dua pasang mata itu. Sepasang mata bening bertemu sepasang mata teduh. Masing-masing menyiratkan kepedihan mendalam.
Renna sekuat tenaga menahan lelehan bening itu di ujung matanya. Ia bertekad untuk tidak menangis di depan Albert. Justru sekaranglah saatnya ia ingin bicara sesuatu dengan pemuda itu. Kesempatan emas tak boleh disia-siakan.
“Albert?” panggil Renna hati-hati.
“Ya?”
“Kamu masih menghilang dalam kehidupan Kak Maurin?”
Albert menarik nafas. Pikirannya lagi-lagi tertuju pada gadis itu. “Iya. Aku punya alasan kuat untuk melakukannya. Aku takut dia terluka. Apa lagi dengan keadaanku sekarang.”
“Hmm...aku tahu alasanmu cukup kuat. Hatimu lembut, kamu juga tulus dan sabar. Pantas saja Kak Maurin sayang padamu.”
“Jangan memujiku. Itu terlalu berlebihan.” Bantah Albert.
“Sama sekali tidak. Itu bukan pujian, tapi aku berkata apa adanya. Aku kan sudah membaca dan menilai dirimu sejak lama. Hanya saja, selama ini aku tidak pernah memperlihatkan diri di depanmu.” Jelas Renna tenang.
Kini Albert terdiam. Renna dan Maurin, dua gadis berperasaan tajam yang pandai membaca aura serta mengungkapkan penilaian mereka. Dua orang gadis yang memiliki mata batin serta ilmu firasat yang kuat. Ada kemampuan khusus dalam diri mereka yang berkaitan dengan melihat sesuatu yang tidak bisa dilihat dengan mata biasa.
“Aku hanya ingin mengingatkan satu hal, Albert. Bicaralah pada kakakku itu saat kamu sudah bisa bicara dengannya. Saat kamu sudah siap. Dia siap menunggumu kapan saja.”